Total Pageviews

Wednesday, May 25, 2011

SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA


BAB III

HUBUNGAN SISTEM PEMASYARAKATAN DENGAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM LAINNYA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU



A.  Pelaksanaan Misi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

1. Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
Cara pandang kedepan terkait dengan pembaruan Pemasyarakatan, idealnya ditempatkan dalam kerangka bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu, dimana pada konteks tersebut akan mengindikasikan bahwa permasalahan-permasalahan pada sub sistem pemasyarakatan harus direspon pula oleh sub sistem peradilan pidana yang lain.  Bekerjanya institusi-institusi penegak hukum dalam kerangka sistem yang terpadu, didasari oleh konsepsi teori sistem yang menjelaskan bahwa sistem merupakan suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi.  Pendekatan sistem mengandung implikasi adanya suatu proses interaksi.  Terkait dengan kesatuan interaksi tersebut, akan menempatkan ruang relasi masing-masing elemen dalam satu satu kesatuan hubungan yang satu sama lainnya saling bergantung (interdependent).  Sebagai satu kesatuan maka suatu sistem  tidak dapat dikenali jika ia dipisahkan atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan kesatuan tersebut.  Jelas dalam konteks sistem peradilan pidana, Pemasyarakatan sebagai intitusi yang terintegrasi dengan sub sistem lainnya – yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dan Advokat -, memiliki bobot dan peran yang sama dalam bekerjanya sistem, sesuai dengan proporsi fungsi dan tugasnya sebagaimana telah diatur melalui peraturan perundang-undangan.  Konteks tersebut menegaskan bahwa sistem peradilan pidana terpadu merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, berikut sikap tindak penegak hukum dan masyarakat.  Pada titik inilah misi pemasyarakatan penting untuk ditempatkan dalam jaring relasi pada sistem peradilan pidana terpadu, sebagaimana dirumuskan melalui Rencana Strategis Pembangunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2004 – 2009, yakni ; melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam rangka penegakan hukum, pencegahan, dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Dalam konteks interaksi tersebut, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan yang menggunakan hukum pidana materiil dan formil maupun hukum pelaksanaan pidana.  Sedangkan makna terpadu dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada sinkronisasi dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga penegak hukum, substansi dalam hukum positif (baik secara vertikal maupun horizontal), dan aspek kulturalnya dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari berjalannya sistem peradilan pidana. Nilai-nilai dasar yang menjadi prinsip dari pendekatan sistem peradilan pidana yakni :
a. menitikberatkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, serta Advokat);
b. menekankan adanya pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh seluruh komponen yang terlibat dalam sistem peradilan pidana;
c. menempatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama daripada efisiensi penyelesaian perkara;
d. mengoptimalkan penggunaan hukum sebagai instrumen dalam rangka untuk memantapkan administrasi peradilan pidana.

Dalam sistem peradilan pidana yang terpadu diupayakan untuk dapat meminimalisir adanya ego sektoral antar institusi penegak hukum.  Bahwa konsep terpadu menegaskan meskipun setiap institusi memiliki fungsi yang berbeda-beda dan berdiri sendiri tetapi harus mempunyai satu tujuan / persepsi yang sama sehingga merupakan satu kekuatan yang utuh yang saling mengikat erat dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan.  Pada titik inilah konsep sistem Pemasyarakatan penting untuk diketahui oleh setiap aparat penegak hukum, sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu dapat menyelaraskan konsep Pemasyarakatan disetiap tindakan/ keputusan yang dihasilkan, dimana lebih khusus lagi pada kebijakan-kebijakan yang memiliki kaitan langsung dengan tugas dan fungsi Pemasyarakatan .

Pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang konsep Pemasyarakatan dan sistem peradilan pidana yang telah diuraikan tersebut diatas tidak seluruhnya dapat ditampung dalam peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku maupun regulasi-regulasi ditiap-tiap lembaga.  Hal ini menunjukkan terjadinya kesenjangan antara dinamisnya perkembangan pemikiran dengan hukum (dalam arti sempit : peraturan perundang-undangan).  Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Buku Satu yang mengatur mengenai Aturan Umum tidak menguraikan tujuan pemidanaan, padahal di buku satu tersebut memuat asas-asas hukum pidana nasional yang secara teoritis/ normatif menjadi acuan dalam operasionalisasi hukum pidana.  Dalam perkembangannya saat ini RUU KUHP telah mencantumkan adanya tujuan pemidanaan yang didalamnya memuat lima tujuan yaitu :    Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik da berguna; Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Keempat, membebaskan rasa bersalah pada teridana; dan Kelima, memaafkan terpidana. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia (Lihat Pasal 54 RUU KUHP).  Melihat ketentuan tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam RUU KUHP, disimpulkan bahwa konsepsi pemasyarakatan telah diadopsi dalam ketentuan hukum pidana yang akan berlaku dimasa mendatang.  Hal lain yang perlu dijadikan bahan rujukan terkait dengan tujuan pemidanaan dan proses implementasi hukum pelaksanaan pidana adalah, peradilan pidana khusus anak yang saat ini tengah dibahas, dimana Bapas memiliki kedudukan yang signifikan dalam proses peradilan pidana sejak penyidikan hingga tahapan pelaksanaan pidananya. 

Pada dataran hukum proseduralnya, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjadi sarana untuk mengikat institusi yang terkoneksi dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, sangat minim menempatkan peran Pemasyarakatan dalam bekerjanya peradilan pidana.  Dalam KUHAP peran Pemasyarakatan dimuat pada pasal-pasal mengenai penahanan (Pasal 22) dan mengenai pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan (khususnya Pasal 281 dan Pasal 282).  Selain KUHAP dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, memuat aturan mengenai Rumah Tahanan Negara (Pasal 18 sampai dengan Pasal 25) dan mengenai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Pasal 26 sampai dengan Pasal 34).  Sedangkan Balai Pemasyarakatan eksistensinya ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.  Bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat peran dan fungsi Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana Indonesia menunjukkan belum memadai khususnya dalam hal menjalin keterhubungan dan bagaimana mengelola kewenangan diantara sub sistem.  Kondisi tersebut jika tidak diperhatikan dengan cermat dapat mengakibatkan degradasi muatan konsep sistem peradilan pidana terpadu menjadi hanya sebagai proses peradilan pidana semata.  Mengingat bahwa sistem peradilan pidana mensyaratkan interkoneksi antar setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan, bukan relasi yang parsial/ sektoral.


2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan
Konteks permasalahan yang mendasar dihadapi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan baik UPT Balai Pemasyarakatan, UPT Rumah Tahanan Negara, UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, maupun UPT Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan adalah belum terpahaminya konsep dan misi Pemasyarakatan pada lembaga penegak hukum lainnya, sehingga memberikan kecenderungan atas ketidakoptimalan bekerjanya sistem Pemasyarakatan dalam tata peradilan pidana.  Permasalahan tersebut dapat menjelaskan realitas hubungan antara lembaga-lembaga yang bernaung dalam sistem peradilan pidana yang masih menunjukkan hubungan  yang kurang sinergis, khususnya dalam hal  interkoneksi diantara sub sistem peradilan pidana.  Terkait dengan tugas-tugas Kepolisan dibidang penyidikan, Kejaksaan dibidang penuntutan (dan penyidikan), serta Pengadilan (hakim) dalam pemeriksaan dipersidangan, terdapat beberapa kondisi yang kurang kondusif yang berimplikasi pada tidak maksimalnya pelaksanaan misi Pemasyarakatan.  Uraian dalam bagian ini akan memaparkan permasalahan-permasalahan UPT-UPT Pemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan misi Pemasyarakatan terkait dengan berkerjanya sistem peradilan pidana. 

Fenomena over kapasitas diberbagai UPT Pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan), merupakan salah satu gejala nyata tidak adanya sinergitas dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, masing-masing lembaga penegak hukum tidak bisa menafikan permasalahan yang dihadapi oleh lembaga penegak hukum lainnya yang secara langsung atau tidak diakibatkan oleh kebijakan salah satu lembaga.  Sebagai contoh adalah proses hukum terhadap tindak pidana narkotika dan obat terlarang yang semakin menunjukkan kecenderungan angka yang meningkat secara signifikan divonis pidana penjara. 

Jumlah Tahanan dan Narapidana Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di  Rutan dan Lapas se Indonesia
jumlah
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008 (februari)
napi/ tahanan
67.960
71.587
88.887
88.707
112.774
127.238
131.339
napi/tahanan narkotika
7.211
11.973
17.060
21.082
32.067
38.172
37.867
Data : diolah dari Presentasi Direktur Bina Khusus Narkotika dalam Rakernis Ditjen PAS 2008

Jumlah tahanan dan narapidana dalam perkara tindak pidana narkotika dan psikotropika dalam tabel tersebut diatas semakin menunjukkan trend kenaikan.  Padahal perlu dipahami bahwa tidak semua terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang harus dipidana dengan hukuman penjara.  Pemilahan terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar pertimbangan tertentu (misalnya ; anak-anak atau status sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang) tidak dilakukan, padahal pihak yang terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan mengetahui permasalahan-permasalahan kelebihan kapasitas yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.  Beberapa hal yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika, memang terdapat problem yuridis-normatif dimana dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, memerintahkan bahwa yang terkait dengan ketentuan pidana di undang-undang tersebut termasuk perkara yang didahulukan dari perkara tindak pidana lainnya untuk diajukan ke pengadilan.  Namun sebaliknya, patut dicermati pula bahwa dalam memeriksa perkara untuk pecandu narkotika, Pasal 47 menyatakan bahwa hakim dapat memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan/ perawatan.  Dengan kondisi warga binaan yang melebihi kapasitas tersebut, tugas dan fungsi pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi tidak maksimal.  Hal ini terbukti dengan kecenderungan banyaknya warga binaan Pemasyarakatan dalam perkara tindak pidana narkotika dan obat terlarang, dimana kualifikasinya sebagai pengguna semestinya mendapatkan rehabilitasi atau penyembuhan secara medis bukan sebagai narapidana di lembaga Pemasyarakatan. 

Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa pendekatan sistem yang telah coba dibangun dasar-dasarnya dalam KUHAP tidak berjalan dan berkembang secara memadai dalam praktik peradilan pidana selama ini.  Sistem peradilan pidana menekannya suatu sistem yang menjangkau sebagai sarana siasat pencegahan kejahatan.  Tidak semua perkara harus masuk hingga proses persidangan dimuka pengadilan, untuk itu sistem harus bekerja untuk menyeleksinya.  Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian awal, bahwa dalam sistem peradilan pidana pemidanaan bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan.

UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, yang eksistensinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagai lembaga yang memiliki kewenangan atas penyimpanaan benda sitaan dan rampasan.  Dimana melalui Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06.Tahun 1983 telah dijabarkan mengani pengelolaan benda sitaan dan rampasan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang kemudian dijabarkan lagi dalam petunjuk Teknsinya melalui Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002.  Dalam hal kerjasama antar negara, terkait dengan fungsi UPT Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dinyatakan pada Pasal 45 ayat (1) sebagai lembaga yang berwenang untuk menyimpan barang, benda, atau harta kekayaan sitaan hasil dari tindak pidana yang berdimensi lintas negara.  Dalam praktiknya banyak ditemukan permasalahan bahwa penyimpanan benda sitaan dan rampasan dalam proses pidana tidak diserahkan atau setidaknya dilaporkan/ informasikan kepada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.  Kondisi ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum lainnya khususnya ditingkat penyidikan dan penuntutan.  

Mengenai kedudukan Cabang Rumah Tahanan Negara di Kepolisian dan Kejaksaan saat ini masih kurang menempatkan Pemasyarakatan pada porsi kedudukannya yang memiliki kewenangan dalam pengawasan dan pembinaan.  Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa semua Cabang Rumah Tahanan Negara adalah dibawah pengawasan dari Rumah Tahanan Negara mengingat pembentukan Cabang Rumah Tahanan Negara dibentuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Menteri.  Kedepan dengan penambahan dari segi jumlah Rumah Tahanan Negara selain diperlukan penguatan koordinasi dengan instansi Kepolisian dan Kejaksaan, secara bertahap diharapkan keberadaan Cabang Rumah Tahanan Negara diluar lingkungan Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan.  Hal tersebut juga berlaku pada Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, kedepan dengan meningkatkan kualitas layanan dalam perawatan – pengelolaannya serta penambahan dari segi jumlah Rumah Penyimpanan Benda  Sitaan Negara diharapkan keberadaan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara diluar lingkungan Pemasyarakatan sudah tidak diperlukan lagi/ dihapuskan.  Kedudukan Rumah Tahanan dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara sebagaiamana diatur melalui peraturan perundang-undangan tersebut, hakikatnya adalah untuk menekankan pada penerapan sistem pengawasan/ kontrol lintas aparatur penegak hukum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam jaring administrasi peradilan pidana.

Pada tingkatan UPT Lembaga Pemasyarakatan, kemacetan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat menunjukkan lemahnya koordinasi diantara Pemasyarakatan dengan Pengadilan.  Padahal bagian tersebut membawa semangat baru dalam konsep dan ruang operasionalisasi sistem peradilan pidana.  Dalam KUHAP itu sendiri diatur hubungan yang timbal balik diantara Kepala Lembaga Pemasyarakatan dengan Hakim Pengawas dan Pengamat.  Dalam pasal 280 Hakim Pengawas dan Pengamat memiliki jangkauan tugas pengawasan untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dijalankan sebagaimana mestinya.  Demikian pula Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 281 KUHAP, atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat,  menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim.  Mahkamah Agung sendiri, sebenarnya telah menghasilkan beberapa surat edaran yang terkait dengan petunjuk pelaksnaan bagi hakim pengawas dan pengamat, yakni Surat Edaran Nomor 3 tahun 1984 tentang Pelaksanaan Tugas Kimwasmat dan Surat Edaran Ketua MA Nomor 7 tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat.  Melalui berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan tersebut revitalisasi kelembagaan Hakim Pengawas dan Pengamat terrsebut dirasakan sangat penting untuk menjadi agenda perbaikan dan pembaruan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu.  

Permasalahan lain yang terdapat sehubungan bekerjanya sistem Pemasyarakatan yang juga patut dikaitkan dengan relasi antar sub sistem peradilan pidana adalah mengenai kebuntuan-kebuntuan aspek teknis administrasi (administrasi peradilan pidana) yang diakibatkan adanya kekosongan maupun kekurangjelasan aturan dalam peraturan perundang-undangan.  Permasalahan prosedural menyangkut upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana (grasi) terkait dengan pelaksanaan eksekusi mati, dimana secara teoritik sebenarnya dapat dipecahkan dengan koordinasi antar institusi yang terkait.  Karena ketidakpastian akan mempengaruhi pula tugas-tugas Pemasyarakatan, seperti pembinaan dan pembimbingan.  Sebagai satu sistem diatas kertas seharusnya kebuntuan-kebuntuan yang diakibatkan peraturan perundangan dapat dipecahkan melalui kerjasama dan koordinasi.  Mengingat permasalahan yang terkait dengan hal-hal yang bersifat prosedural dapat dipecahkan melalui atuan-aturan teknis yang disepakati oleh masing-masing institusi.  

3. Saran Tindak
a.       Direktorat Jenderal Pemasyarakatan penting mendorong adanya desk khusus yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-udangan maupun relasi lintas institusi yang terkait dengan bekerjanya sistem peradilan pidana.

b.      Direktorat Jenderal Pemasyrakatan perlu merumuskan pokok-pokok pikiran dan usulan rekomendasi terkait dengan perbaikan peraturan perundang-undangan yang dapat menempatkan lembaga-lembaga penegak hukum sebagai kesatuan elemen dari sistem peradilan pidana yang terpadu.  Penyempurnaan terhadap KUHP, KUHAP, dan Undang-undang Pengadilan Anak seharusnya menjadi prioritas; perlu dipertimbangkan pula adanya Undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai bekerjanya sistem peradilan pidana yang terkait dengan pembagian fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga; perubahan Undang-undang tentang Pemasyarakatan terkait dengan penguatan posisi Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana; dan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal tertentu atas undang-undang yang berpotensi untuk memidanakan orang dengan pidana penjara dan berimplikasi terhadap fenomena over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (seperti  Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang Nonor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika serta undang-undang lainnya yang dapat memicu over kapasitas).

4. Indikator Keberhasilan
a.       Terbentuknya Desk Khusus Koordinasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, yang terdiri setidaknya Mahkamah Agung Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, KPK, dan Komnas HAM yang dikoordinasikan oleh Kementrian Menteri Hukum dan HAM.

b.      Konsep dan Misi Pemasyarakatan dapat diadopsi secara utuh dalam KUHP, KUHAP, dan UU Peradilan Pidana Anak yang baru. Dalam KUHP materi mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan jenis-jenis pidana yang berorientasi selaras dengan konsep Pemasyarakatan.  Sedangkan dalam KUHAP memuat kedudukan Balai Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai lingkup kewenangan Pemasyarakatan sesuai dengan fungsinya dalam sistem peradilan terpadu. 

c.       Tersusunya Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

d.      Tersusunya Perbaikan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Pemasyarakatan

e.       Tersusunya pokok-pokok pikiran dan rekomendasi perbaikan terhadap berrbagai undang-undang yang memiliki kecenderungan untuk memicu over kapasitas


B. Petugas Pemasyarakatan dan Bekerjanya Administrasi Peradilan Pidana.

1.      Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan Normatif
KUHAP sebagai hukum pidana formil/ prosedural memiliki peran untuk menjadi jembatan yang menghubungkan bekerjanya masing-masing sub sistem peradilan pidana.  Dalam hukum acara yang diatur di KUHAP terdapat empat tahapan pelaksanaan beracara : yakni pertama, tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi; kedua, tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa; ketiga, tahap pemeriksaan didepan sidang pengadilan; dan keempat, tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa serta Lembaga Pemasyarakatan dibawah pengawasan Ketua Pengadilan.  Dalam pentahapan dan pembagian kewenangan dimasing-masing tahapan pelaksanaan beracara menandakan garis kebijakan KUHAP sebagai mekanisme yang terpadu dalam operasionalisasi administrasi peradilan pidana. 

Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 8 disebutkan bahwa Petugas Pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga pembinaan Pemasyarakatan.  Sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan.  Penegakan atas integritas profesi Petugas Pemasyarakatan tersebut meliputi fungasi dan tugas dalam rangka pelayanan di Rumah Tahanan, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, pembimbingan melalui Bapas, dan pengelolaan di Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara.

Dalam konteks pelaksanaan misi Pemasyarakatan tersebut menempatkan posisi petugas Pemasyarakatan dalam lintas relasi yang setara merupakan prasyarat berjalannya sistem peradilan  pidana yang terpadu.  Kondisi saat ini dirasakan oleh Pemasyarakatan dalam upaya pelaksanaan misi Pemasyarakatan belum mendapatkan apresiasi dan penghormatan yang memadai dari lingkungan penegak hukum lainnya.  Pemasyarakatan diposisikan hanya sebagai ujung dari proses peradilan pidana yang berjalan.  Dalam konteks normatif memang terdapat permasalahan yang cukup krusial mengenai posisi Pemasyarakatan yang ditempatkan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan pada tata peradilan pidana.  Hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 Undang-undang tentang Pemasyarakatan.  Namun jika menengok tugas pokok dan fungsi Pemasyarakatan dalam undang-undang tersebut, maka sebenarnya penempataan Pemasyarakatan sebagai ujung akhir dari sistem peradilan pidana sangat tidak tepat, mengingat Pemasyarakatan telah berperan sejak awal pada saat proses peradilan pidana mulai bekerja.  Dengan kondisi ini tentunya diperlukan penguatan posisi Pemasyarakatan ditengah-tengah bekerjanya sistem peradilan pidana. 

2. Uraian mengenai Permasalahan-Permasalahan

Berdasarkan KUHAP serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan administrasi peradilan pidana, Petugas Pemasyarakatan telah bekerja untuk menjalankan fungsinya sejak pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi.  Balai Pemasyarakatan dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 34, menunjukkan peran Pembimbing Kemasyarakatan disemua lini tahapan proses penanganan perkara pidana, baik ditingkat penyidikan, penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan putusan.  Posisi Rumah Penyimpanan benda Sitaan Negara, yang berwenang secara fisik dan administratif juga mencakup tahapan pra adjudikasi hingga post adjudikasi.  Peran dan fungsi Balai Pemasyarakatan, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan Rumah Tahanan Negara menguatkan kedudukan Pemasyarakatan bukan sebagai akhir dari proses peradilan pidana.  Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana garis koordinasi dan interkoneksi antar lembaga penegak hukum untuk melaksanakan tahapan acara pidana menunjukkan diferensiasi fungsional dari masing-masing lembaga.  Pada titik ini terdapat kerentanan terjadinya ego sektoral dari masing-masing lembaga.  Terdapat kecenderungan dalam praktik selama ini Pemasyarakatan kurang memiliki kekuatan tawar yang kuat terhadap tiga institusi lainnya, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. 

Permasalahan umum yang seringkali di hadapi oleh Balai Pemasyarakatan adalah mengenai kedudukan Pembimbing Kemasyarakatan dalam proses pemeriksaan dimuka sidang yang kurang ditempatkan sebagai faktor penting untuk memberikan pertimbangn /masukan bagi penuntut umum dan hakim dalam perumusan dakwaan dan tuntutan serta penyusunan putusan pengadilan.  Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 55 dan 56 ditegaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan wajib hadir di persidangan.  Melalui pasal tersebut dinyatakan pula hakim wajib memberikan kesempatan bagi Pembimbing Kemasyarakatan untuk menyampaikan penelitian kemasyarakatan sebelum sidang dibuka.  Dalam praktiknya, kedudukan Balai Pemasyarakatan selaku Pembimbing Kemasyarakatan tidak ditempatkan pada porsi yang sepatutnya untuk memberikan masukan substansi (rekomendasi penanganan anak yang bermasalah dengan hukum) bagi penyusunan dakwaan/ tuntutan dan putusan.  Ada dua faktor penting yang menjadikan kondisi tersebut, yakni Penyidik, Penuntut Umum, serta Hakim yang tidak melihat signifikansi peran dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dan/ atau faktor kualitas hasil penelitian kemasyarakatan yang kurang memadai sehingga masukan dari Pembimbing Kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam proses penanganan perkara pidana. 

Permasalahan umum yang dihadapi oleh UPT Rumah Tahanan Negara adalah mengenai surat penahanan yang telah habis/ perlu perpanjangan surat penahanan namun tidak bisa berjalan secara baik karena tidak adanya koordinasi yang baik dengan pihak kepolisian.  Hal yang sama juga terjadi dalam tahap penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan hingga putusan.  Pada tahapan pemeriksaan dimuka sidang terkait dengan ekstrak vonis, yang tidak diterima seketika oleh UPT Rumah Tahanan Negara setelah terdakwa menjadi terpidana.  Dalam KUHAP sendiri Pasal 200 mengharuskan surat putusan untuk ditanda tangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan, hal ini dimaksudkan agar ketentuan tersebut memberikan kepastian bagi terdakwa.  Khusus untuk terdakwa yang diputus bebas  atau dilepas dari segala tuntutan Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 5 tahun 2001 telah memerintahkan Pengadilan Negeri untuk terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan dibacakan dan pada saat itu telah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis).

Penekanan proporsi fungsi dan peran diantara subsistem peradilan pidana, terkait dengan Petugas Pemasyarakatan di Rumaha Tahanan Negara maupun di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara adalah pembagian tanggung jawab yang menurut Peraturan pemerintah Nomor 27 tahun 1983 dibedakan menjadi dua yakni tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab fisik.  Tanggung jawab secara fisik terhadap tahanan dan benda sitaan/ rampasan menurut peraturan adalah menjadi tanggungjawab dari Pemasyarakatan (Petugas Pemasyarakatan).  Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) untuk Rumah Tahanan Negara dan Pasal 30 ayat (2) dan (3) untuk Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara. 

Lebih lanjut, berkenaan dengan hubungan Rumah Tahanan Negara dengan Cabang Rumaha Tahanan Negara dalam Pasal 38 ayat (3) KUHAP memerintahkan Kepala Cabang Rutan untuk memberikan laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala Rutan.  Untuk itulah dalam penegasan penguatan posisi Pemasyarakatan, penting untuk dilakukan langkah-langkah khusus mengenai pengawasan dan pembinaan tahanan di cabang rumah tahanan yang ada di Kepolisian dan Kejaksaan agar terjadi sinergitas dalam menjalankan sistem administrasi peradilan pidana yang menempatkan hukum dan hak asasi manusia sebagai standart bersama.  Hal yang sama juga berlaku pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, melalui pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 juga menegaskan kedudukan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang dibentuk oleh Menteri.  Pasal 39 ayat (3) memeintahkan bahawa sebelum dibentuk Rumah penyimpanan Benda Sitaan negara penyimpanan benda sistaan yang dilakukan di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tiap enam bulan sekali.

Hal lain yang perlu dikemukakan adalah adanya aspirasi dikalangan Pemasyarakatan untuk menambah kewenangan petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).  Kewenangan penyidikan tersebut tersebut dimaksudkan hanya terbatas pada perkara pidana yang melibatkan narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara.  Kewenangan sebagai PPNS tentunya memiliki spesifikasi dan kualifikasi terentu, sehingga tidak semua petugas Pemasyarakatan adalah sebagai penyidik PPNS.  Pembatasan jumlah penyidik tersebut bisa juga dilakukan dengan cara pemusatan Penyidik PPNS di Direktorat Jenderal atau  pembatasan dari segi jumlah pada setiap UPT atau Penyidik PPNS tersebut berada dibawah koordinasi dari Kadiv Pemasyarakatan di Kantor Wilayah.  Dalam kerangka kerjasama dengan institusi Penyidik, pelaksanaannya selama ini didalam Lembaga Pemasyarakatan juga telah dibentuk Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan dimana secara teknis telah bekerjasama dengan Kepolisan melalui nota kesepahaman yang disusun dengan Pemasyarakatan. 

3. Saran Tindak
a)      Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun rancangan dokumen kebijakan yang isinya adalah mengarahkan UPT Balai Pemasyarakatan untuk mendorong peran aktif Pembimbing Kemasyarakatn untuk terlibat dalam tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi dalam proses pemeriksaan perkara pidana;
b)      Direktorat Jenderal perlu membentuk kelompok kerja untuk menyusun rancangan naskah kebijakan mengenai pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang berada di institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
c)      Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu membentuk kelompok kerja untuk merumuskan kebijakan yang dapat mendorong keterpaduan bekerjanya administrasi peradilan pidana dan pengembangan kerjasama lintas institusi yang diinisiasi oleh UPT Pemasyarakatan  dalam kaitannya dengan persinggungan antara tugas-fungsi Pemasyarakatan dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.  Misalnya kerjasama dan koordinasi terkait dengan adminitrasi tahanan/ registrasi dalam konteks tukar-menukar data kriminal (data sidik jari dan identitas tersangka),  pengeluaran tahanan demi hukum, serta mengenai ekstrak vonis yang dapat disederhanakan lagi dengan berita acara yang tentunya akan  memudahkan administasi peradilan pidana ditingkat UPT Pemasyarakatan.
d)      Pentingnya kajian mengenai signifikansi penambahan kewenangan Petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

4. Indikator Keberhasilan
a)      Dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Pemasyarakatan tentang Penguatan Peran Pembimbing Kemasyarakatan dengan lampiran berupa pedoman kerja pelaksanaan tugas Pembimbing Kemasyarakatan.
b)      Tersusunnya Naskah Akademis Usulan Perumusan Kebijakan Pengelolaan Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Departemen Hukum dan HAM
c)      Tersusunnya Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengeluaran Tahanan Demi Hukum dan Rancangan Peraturan Menteri mengenai Pengelolaan Data Kriminal.
d)      Tersusunnya naskah akademik atau kertas kerja mengenai kajian penambahan kewenangan Petugas Pemasyarakatan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil.


BAB IV
TINJAUAN MANAJEMEN ORGANISASI


Penyelenggaraan kegiatan Pemasyarakatan dalam struktur birokrasi Departemen Hukum dan HAM dilaksanakan oleh tiga jenjang, pertama oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kedua oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan dan ketiga oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang terdiri dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan (Rutan), Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Aturan mengenai organisasi dan tata kerja dari ketiga jenjang tersebut adalah sebagai berikut:
-          Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Ham R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I
-          Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M – 01.PR.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
-          Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Lembaga  Pemasyarakatan diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
-          Ketentuan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemasyarakatan diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1997 Tentang  Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.03 Tahun 1987 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan Dan Pengentasan Anak
-          Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Rumah Tahanan Negara dan  Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara Dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara

A.         Struktur Organisasi Pemasyarakatan Dalam Hubungannya Dengan Perangkat Organisasi Lainnya Di Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia

1.      Kondisi Normatif, Empiris Dan Permasalahannya
Pada dasarnya organisasi diarahkan untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif melalui kegiatan yang terpadu (J. Winardi, Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen : 2005).  Namun hal tersebut belum sepenuhnya terlaksana di Departemen Hukum Dan HAM bila dihubungkan dengan tata struktural antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kanwil) dan Unit Pelaksana Teknis di lapangan. Dalam garis birokrasi struktural Departemen Hukum dan HAM, Kepala Lapas sebagai salah satu unit pelaksana teknis misalnya, bertanggungjawab secara administratif kepada Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Hukum dan HAM sedangkan Kakanwil bertanggungjawab langsung kepada Menteri Departemen Hukum dan HAM, sistem ini dikenal dengan sebutan integrated. Posisi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada dibawah organisasi departemen dan bertanggung jawab kepada Menteri. Sedangkan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv Pas),bertanggungjawab kepada Kakanwil Departemen Hukum dan HAM. Tidak ada garis struktural secara langsung antara Dirjen Pas, Kadiv Pas dan Ka.Lapas sebagai Unit Pelaksana Teknis.

Hubungan antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas), Kadiv Pemasyarakatan, dan satuan unit pelaksana teknis dibawahnya hanya bersifat teknis fungsional.  Sebagai contoh dalam Pasal 69 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa bimbingan teknis Pemasyarakatan kepada Lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan. Demikian juga dalam Pasal 61 ayat (3) dan (4) Peraturan No: M – 01.PRa.07.10 Tahun 2005 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah yang menyebutkan bahwa Kepala Divisi Pemasyarakatan, dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal atau Kepala Badan yang bersesuaian melalui Kepala Kantor Wilayah. Dalam hal-hal tertentu yang bersifat teknis, Kepala Divisi Pemasyarakatan, dapat melaporkan pelaksanaan tugasnya langsung kepada Direktur Jenderal atau Kepala Badan yang bersesuaian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.

Disisi ini terlihat dualisme tata hubungan dalam tatanan struktural dan teknis organisasi, dimana secara struktur organisasi yang sama-sama menjalankan fungsi pemasyarakatan itu tunduk pada hierarki organisasi strukturalnya masing-masing meskipun secara teknis organisasi-organisasi tersebut saling berhubungan. Bidang struktural yang menitikberatkan pada dukungan fasilitatif, kepegawaian dan anggaran kepada bidang teknis yang menjalankan fungsi-fungsi Pemasyarakatan sejatinya berada dalam satu hierarki manajemen terpadu. Dalam banyak hal, tata hubungan  tersebut tidak terselenggara dalam sistem organisasi pemasyarakatan di Departemen Hukum dan HAM.

Pada akhirnya sistem ini menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan dalam keberhasilan kinerja sistem pemasyarakatan secara keseluruhan.Dikatakan bermasalah karena tidak adanya kesatuan kerja yang baik meskipun dikatakan sistem tersebut adalah sistem yang  “integrited”.

Permasalahan lain yang kiranya belum maksimal dilakukan adalah  pemberdayaan SDM yang berasal dari Pemasyarakatan untuk dapat berkarier di jabatan-jabatan strategis di Departemen sepanjang yang bersesuaian dengan bidang Pemasyarakatan misalnya di BPSDM, Sekjen untuk biro perencanaan, pegawaian. 

2.      Saran Tindak
Pada dasarnya pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan yang diemban oleh organisasi pemasyarakatan sangat berat mengingat terus meningkatnya jumlah pelaku tindak pidana yang di hukum mulai dari kategori anak, wanita hingga dewasa.  Dengan kondisi tersebut maka seyogyanya kemandirian organisasi pemasyarakatan perlu dipertimbangkan sehingga dualisme tata hubungan baik dalam kerangka teknis fungsional dan struktural dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sedapatnya diminimalisir.

Terkait dengan permasalahan dalam struktur organisasi pemasyarakatan mungkin perlu dipertimbangkan kembali bahwa peran Direktorat Jenderal dalam organisasi pemasyarakatan merupakan “Pembina Teknis” kepada unit pelaksana teknis yang menjalankan tugas dan fungsi pemasyarakatan.  Wacana atau ide untuk mengatasi dualisme tata hubungan yang terjadi perlu memperhatikan kondisi tersebut dengan alas strategi koordinatif dalam kerangka pembagian peran yang jelas dimasing-masing bidang atau tingkatan manajemen.  Dengan status sebagai pembina teknis maka lingkup pelaksanaan tugasnya meliputi peran teknis-substantif sedangkan dalam kerangka administratif-fasilitatif peran tersebut dimainkan oleh Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM.  Faktual, dalam sistem integrated yang dianut oleh departemen,  bidang-bidang yang memainkan peran administratif-fasilitatif lebih dominan ketimbang bidang-bidang yang memainkan peran teknis-substantif, kondisi ini pada akhirnya disikapi dengan prinsip koordinatif agar terjadi keseimbangan dalam pelaksanaan tugas secara keseluruhan. 

Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, saat ini tengah menyusun Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Departemen (bindalmin) yang didalamnya mengatur mengenai pola tata hubungan kerja antara unit-unit satuan utama di Departemen.  Prinsip koordinatif diharapkan tergambarkan dalam substansi penyusunan pola bindalmin tersebut, dimana tidak saja diatur mengenai tata kerja antara unit-unit satuan utama tetapi juga tata hubungan antara unit satuan utama di departemen dengan unit-unit kerja yang ada di kanwil serta unit pelaksana teknis di daerah terutama dalam kerangka pelaksanaan tugas administratif – fasilitatif.

Pencapaian kemandirian organisasi pemasyarakatan dalam upaya menciptakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi  tidak selalu diikuti dengan restrukturisasi organisasi secara keseluruhan.  Dengan sendirinya beragam pandangan mengenai bentuk atau model organisasi yang ideal diantara pilihan holding atau integrated dapat disikapi dengan penggunaan prinsip-prinsip koordinatif dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sistem pemasyarakatan secara keseluruhan. Prinsip koordinatif merupakan jalan terbaik untuk memaksimalkan peran organisasi pemasyarakatan baik ditingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan hingga ke Unit Pelaksana Teknis.  Koordinasi pelaksanaan tugas tersebut sebaiknya diatur dalam organisasi dan tata kerja masing-masing bidang melalui Peraturan Menteri sehinga ada mekanisme yang jelas.  Bidang-bidang yang membutuhkan koordinasi yang jelas meliputi bidang anggaran dan bidang kepegawaian namun demikian tidak tertutup kemungkinan bidang-bidang lain seperti pada bidang pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.

Hal-hal yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya mekanisme koordinasi di organisasi pemasyarakatan meliputi;
-          Adanya tugas dan fungsi serta kewenangan yang diperoleh organisasi pemasyarakatan baik di tingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Divisi Pemasyarakatan hingga ke Unit Pelaksana Teknis.
-          Prinsip koordinasi dilaksanakan dalam lingkup tugas yang berhubungan dengan anggaran, pembinaan kepegawaian, rekrutmen termasuk yang berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia pemasyarakatan.
-          Prinsip koordinasi di masing-masing bidang diatur dengan mekanisme yang jelas melalui  Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang dituangkan dalam ketentuan Organisasi dan Tata Kerja masing-masing bidang sesuai level birokrasinya, dalam pelaksanaannya tentunya prinsip ini sebangun dengan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Departemen yang saat ini sedang disusun oleh Sekertariat Jenderal Departemen Hukum dam HAM.
-          Untuk menjalankan prinsip koordinasi tugas dan fungsi pemasyarakatan yang telah dituangkan dalam organisasi dan tata kerja perlu dibuat standar operasional prosedur atau standar bekerja yang mengatur mengenai mekanisme teknis implementasi prinsip dimaksud.
-          Agar lebih efektif dalam penerapan prinsip koordinatif tersebut maka penempatan personil di Kesekretariatan Jenderal Departemen Hukum dan HAM atau bidang tugas lainnya seperti Inspektorat Jenderal atau BPSDM sepanjang yang berhubungan dengan organisasi pemasyarakatan sedapat mungkin ditempati oleh pegawai yang berasal dari kalangan pemasyarakatan sehingga dapat mengetahui dengan cermat kondisi yang terjadi di pemasyarakatan. Penempatan personil tersebut berdasarkan syarat administratif dan substantif  yang jelas dan transparan.   

3.      Indikator Keberhasilan  
a.       Terlaksananya  koordinasi  kewenangan meliputi bidang anggaran, kepegawaian dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi organisasi pemasyarakatan
b.      Ketentuan mengenai desentralisasi kewenangan sebagai bentuk koordinasi diatur dengan peraturan Menteri yang tertuang dalam organisasi dan tata kerja masing-masing tingkatan organisasi pemasyarakatan
c.       Ditempatkannya SDM dari pemasyarakatan di beberapa posisi yang berhubungan dengan pemasyarakatan baik di Sekjen atau BPSDM agar memudahkan koordinasi


B.         Organisasi Dan Tata Kerja Dalam Melaksanakan Tugas Pokok Dan Fungsi

Suatu organisasi yang baik dan efektif pada dasarnya memiliki ciri-ciri antara lain :
  1. mempunyai tujuan organisasi yang jelas dan realistis
  2. pembagian kerja dan hubungan pekerjaan antara unit-unit, sub sistem atau bagian-bagian harus baik dan jelas
  3. organisasi harus menjadi alat dan wadah yang efektif dalam mencapai tujuan
  4. tipe organisasi dan strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan organisasi
  5. unit-unit kerja ditetapkan berdasarkan atas eratnya hubungan kerja
  6. job description setiap jabatan harus jelas dan tidak tumpang tindih
  7. rentang kendali setiap bagian harus berdasarkan volume pekerjaan dan tidak terlalu banyak
  8. sumber perintah dan tanggungjawab harus jelas, melalui jarak yang terpendek
  9. jenis wewenang yang dimiliki setiap pejabat harus jelas
  10. tidak adanya kesalahan manajemen dalam penempatan karyawan
  11. hubungan antara bagian jelas dan serasi
  12. pendelegasian wewenang harus berdasarkan job decription karyawan
  13. diferensiasi, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi harus baik
  14. organisasi harus luwes dan fleksibel
(H.P Malayu Hasibuan, “Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah/ Jakarta, Bumi Aksara:2001)

Beberapa ciri organisasi diatas dijadikan alat untuk mengukur efektifitas dan efisiensi organisasi Pemasyarakatan pada Departemen Hukum dan HAM saat ini.

1.      Tujuan Organisasi
1.1. Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Saat ini terdapat kondisi dimana ada kesenjangan dalam mengartikulasikan tujuan organisasi pemasyarakatan baik ditingkat pusat maupun di tingkatan unit-unit pelaksana teknis.  Sebagai contoh, dibeberapa unit pelaksana teknis tujuan organisasi pemasyarakatan bisa dijalankan dengan baik, namun tidak sedikit visi dan misi serta tujuan organisasi tersebut di tempat lain terlihat sangat kurang. Pada akhirnya program kerja yang dibuat tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi pemasyarakatan. Kurangnya memahami visi dan misi organisasi mengakibatkan  kemajuan dan kemunduran suatu UPT Pemasyarakatan ditentukan oleh siapa yang memimpin sehingga terlihat perbedaan kualitas kerja yang cukup besar antara setiap unit pelaksana teknis. Sudah seharusnya tujuan organisasi yang diaplikasikan dalam visi dan misi organisasi mulai dikembangkan kembali terutama di unit-unit pelaksana teknis. Diharapkan kemajuan suatu organisasi khususnya ditingkatan UPT adalah berdasarkan tujuan yang telah disusun oleh organisasi bukan bergantung dari siapa yang memimpin. Catatan bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa suatu Visi dan Misi Organisasi Pemasyarakatan  bisa berkembang dan tidak statis hal tersebut secara dinamis berhubungan dengan  Rencana Pembangunan Nasional yang sudah digariskan dalam UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan demikian Direktorat jenderal pemasyarakatan perlu secara aktif memasukan perencanaan strategisnya organisasinya kepada Sekjen atau Departemen agar dapat menjadi bagian dari Rencana Strategis Departemen. Substansi Renstra Pemasyarakatan seyogyanya  perlu disempurnakan disesuaikan dengan visi, misi serta tujuan dan kebutuhan organisasi. Disamping itu pola penyusunan program kerja pemasyarakatan di tingkat Kadiv PAS dan unit-unit pelaksana teknis masih perlu dikuatkan mengingat  belum disesuaikan dengan Renstra Pemasyarakatan berdasarkan visi, misi serta tujuan organisasi yang ingin dicapai


1.2 Saran Tindak 
Pada dasarnya Visi dan misi serta tujuan organisasi yang terkandung dalam Renstra   bersifat dinamis dan sesuai kebutuhan serta sedapatnya meliputi seluruh sub sistem pemasyarakatan mulai dari Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menetapkan tujuan organisasi dengan merumuskan visi dan misi berdasarkan karakteristik tugas dan fungsinya yang sesuai dengan arah dan perkembangan dalam perencanaan pembangunan nasional baik perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang. Visi dan misi yang disusun tersebut sedapatnya meliputi seluruh unsur pemasyarakatan mulai dari Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan. Visi dan misi tersebut seharusnya ditransformasikan secara jelas kepada sub organisasi yang  melaksanakan tugas dan fungsi pemasyarakatan seperti kepada Kadiv Pemasyarakatan dan unit pelaksana teknis dibawahnya.  Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu mendorong agar Kadiv Pemasyarakatan beserta semua unit pelaksana teknis yang berada dibawah koordinasi Kadiv Pemasyarakatan mempunyai program yang sejalan dengan visi dan misi pemasyarakatan berdasarkan tingkat atau level birokrasinya masing-masing. Visi dan misi tersebut dijadikan sebagai pedoman baku mengenai arah bekerjanya organisasi sehingga baik pimpinan dan staf mempunyai paradigma yang sama untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian kemajuan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi bukan tanggungjawab Kepala UPT saja, atau Kadiv Pemasyarakatan atau Direktur Jenderal Pemasyarakatan saja tetapi seluruh insan Pemasyarakatan.      

1.3 Indikator Keberhasilan
a. Adanya substansi Renstra yang sesuai dengan kebutuhan organisasi yang mencakup keseluruhan sub sistem pemasyarakatan Rutan, Lapas, Bapas dan Rupbasan


b.  Adanya surat keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang mengatur agar penyusunan program kerja di setiap unit pelaksana teknis atau Divisi PAS di Kanwil dalam menyusun program kerja harus berdasarkan rencana strategis (renstra) organisasi Pemasyarakatan
.
diharapkan dengan adanya kedua indikator ini Visi dan misi dan tujuan organisasi dapat diimplementasikan secara baik di setiap level birokrasi mulai ditingkat Direktorat Jenderal, Kadiv Pemasyarakatan dan unit Pelaksana Teknis 


2.   Penyesuaian Tipe Organisasi dan Struktur dengan Kebutuhan Organisasi 
2.1 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
2.1.1    Kondisi Normatif, Empiris dan Permasalahannya
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan HAM R.I Nomor: M.09-PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum Dan HAM R.I. setidaknya ada enam (6) direktorat teknis yang melaksanakan tugas dan fungsi pemasyarakatan di Direktorat Jenderal diantaranya sebagai berikut:
-          Direktorat Registrasi dan Statistik
-          Direktorat Perawatan
-          Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan
-          Direktorat Latihan Kerja dan Produksi
-          Direktorat Kemanan dan Ketertiban
-          Direktorat Bina Khusus Narkotika  

Gambar :Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan



DIREKTORAT   JENDERAL
PEMASYARAKATAN

 
 

1 comment: