Total Pageviews

Wednesday, May 25, 2011

SISTEM PEMASYARAKATAN INDONESIA


BAB II
SISTEM  PEMASYARAKATAN  INDONESIA

A. Perkembangan Sistem Pemasyarakatan

1. Batasan dan Filosofi Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.  Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.  Oleh karenanya, sub-sub sistem dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan, namun juga Rumah Tahanan Negara untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang milik warga binaan atau yang menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan warga binaan dan klien pemasyarakatan.

Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi.   Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujuan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya.  Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat.  Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).

Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga dipengaruhi oleh kebijakan Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut.  Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif. 

Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hak-hak terpidana.  Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pembimbingan, pembinaan dan pembinaan dalam sistem Pemasyarakatan pun dilakukan oleh petugas fungsional khusus, yaitu petugas Pemasyarakatan.  Dengan demikian pelaksanaan Pemasyarakatan menuntut profesionalitas sumber daya manusia yang akan memahami dengan baik tujuan Pemasyarakatan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, serta untuk menghindari perlakuan-perlakuan tidak manusiawi.  Selain itu, di dalam melaksanakan pembinaan dan pembimbingan, juga diperlukan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait serta lembaga kemasyarakatan untuk menunjang efektifitas.

Prinsip-prinsip ini pada dasarnya dapat dijadikan indikator dalam melihat keberhasilan pelaksanaan Pemasyarakatan dewasa ini. Meskipun bila dilihat lebih jauh, indikator yang dimaksud lebih berupa asas dan pemenuhan hak-hak narapidana. Namun demikian, indikator ini justru menjadi ruh dari keseluruhan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Indikator-indikator lain dalam melihat keberhasilan ini, seperti dari aspek sumber daya manusia dan teknis pelaksanaan Pemasyarakatan, merupakan indiaktor yang akan didasari oleh asas pelaksanaan Pemasyarakatan ini.  Bila mengacu pada Didin Sudirman (2007), perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan indikator utama keberhasilan tugas dan fungsi pemasyarakatan, khususnya hak-hak dari Warga Binaan Pemasyarakatan dan Tahanan. Sistem Pemasyarakatan dalam hal ini merupakan instansi yang terlibat dalam penegakan hukum, mulai dari tahap pre-adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi. Pada masing-masing tahap inilah Sistem Pemasyarakatan berperan dalam memberikan perlindungan HAM. Pada tahap pre-adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui Rutan berperan dalam memisahkan kewenangan yuridis penahanan di tangan kepolisian dan kejaksaan dengan kewenangan penahanan secara fisik. Pemisahan ini ditujukan untuk check and balances agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan dari pihak yang memiliki kewenangan secara yuridis.
           
Pada tahap adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui Balai Pemasyarakatan berperan dalam memberikan pertimbangan  berdasarkan penelitian kepada pengadilan. Penelitian kemasyarakatan (Litmas) oleh Bapas diharapkan dapat memberi gambaran yang objektif tentang latar belakang  suatu peristiwa terjadi. Diharapkan setelah itu, pengadian dapat memberikan keputusan yang tepat. Pada tahap pre-adjukasi dan adjudikasi ini, Rupbasan juga berperan dalam melindungi hak atas benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Rupbasan dalam hal ini berperan dalam menjamin keselamatan dan keamanan barang yang dimaksud.

Sementara itu, pada tahap post adjudikasi, Sistem Pemasyarakatan melalui UPT Lapas berperan dalam memberikan pembinaan untuk melindungi hak asasi narapidana. Pembinaan dalam hal ini menjadi pencegah terjadinya prisonisasi (proses pembelajaran dalam kultur penjara) yang justru dapat membuat kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari pada sebelum ia masuk ke dalam Lapas.

Munculnya konsep Pemasyarakatan pada tahun 1964 pada dasarnya sangat terkait dengan adanya dorongan untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi dan melindungi hak-hak asasi terpidana, termasuk tahanan. Dorongan tersebut bahkan telah formalisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1955 dalam bentuk Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Di dalamnya terdapat sejumlah hak dan perlakuan minimum yang harus diberikan kepada terpidana/tahanan selama berada dalam institusi pejara/penahanan. Standard Minimum Rules dan munculnya konsep Pemasyarakatan inilah yang menandai peralihan sistem pemidanaan Indonesia dari sistem pemenjaraan yang dalam praktek lebih menekankan sentimen penghukuman (punitive sentiment) atau pembalasan (retributive).

Terkait dengan sejumlah perkembangan dalam pembangunan hukum di Indonesia dewasa ini, khususnya dalam konteks penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka ke depannya posisi Sistem Pemasyarakatan akan semakin penting. Reintegrasi sosial yang menjadi dasar filosofis Sistem Pemasyarakatan secara eksplisit telah menjadi bagian dari rencana nasional dalam pembaruan KUHP. Pada pasal 54 RKUHP dinyatakan, bahwa tujuan pemidanaan adalah;
a.Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Sementara itu pada pasal 54 (2) juga ditegaskan bahwa; pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Rancangan ini ke depan akan memperkuat posisi Sistem Pemasyarakatan sebagai salah satu bagian integral Sistem Peradilan Pidana sekaligus mewarnai nuansa bekerjanya sub-sub SPP lainnya dalam konteks teknis dan filosofis.


2. Pemidanaan Masa Penjajahan
Diskusi tentang Sistem Pemasyarakatan sebagai proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari proses dan tujuan pemidanaan masa penjajahan Belanda dan masa-masa awal Indonesia merdeka. Sebagai negara yang pernah dijajah, sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh Belanda, demikian pula sistem pemidanaannya. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. KUHP yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht voor de Inlenders in Nederlandsch Indie ini telah ditetapkan Belanda sejak tahun 1872. Penjara-penjara Belanda juga masih digunakan hingga kini meskipun telah dirubah penamaannya menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Kenyataan ini dalam banyak hal justru menjadi hambatan dalam implementasi Pemasyarakatan yang muncul kemudian.

Dalam KUHP yang berlaku masa penjajahan Belanda tersebut, jenis pidana utama bagi pribumi adalah pidana kerja, selain juga pidana mati dan denda. Pidana kerja ini dibagi menjadi pidana kerja paksa dan pidana dipekerjakan. Dalam kenyataannya, pidana kerja paksa ini identik dengan “pembuangan” karena pelaksanaannya dilakukan di luar dari daerah tempat keputusan pengadilan pertama dijatuhkan. Pembuangan ini dianggap sebagai upaya menambah penderitaan dari pidana kerja paksa tersebut. Tujuan utama dari pidana ini adalah untuk menunjang kepentingan kolonial, terutama kepentingan ekonomi, politik dan militer.

Tahun 1905 muncul kebijakan baru. Jika sebelumnya terpidana kerja paksa di tempatkan jauh dari daerah asalnya, dengan kebijakan baru ini kerja paksa dilakukan dalam lingkungan tembok penampungan terpidana. Alasan munculnya kebijakan baru ini adalah kurangnya kegunaan pidana kerja paksa yang dilakukan sebelumnya, serta atas alasan tidak adanya pengawasan yang efektif (dengan munculnya pelarian dan pekerja yang “bermalasan”). Perubahan dengan alasan ini dianggap dapat memenuhi sifat “membuat takut” dari pidana penjara. Dalam kebijakan ini dilakukan pengkonsentrasian para terpidana kerja paksa pada pusat-pusat penampungan wilayah, disebut “penjara-penjara pusat”, yang juga difungsikan untuk menampung tahanan, sandera, dan lainnya.

Untuk para terpidana kerja paksa inilah didirikan bangunan-bangunan “penjara” yang menampung mereka pada malam hari. Pemisahan terpidana dalam “penjara” ini tidak dilakukan. Perlakuan terhadap terpidana sangat tidak manusiawi. Sementara untuk terpidana yang berasal dari kalangan Eropa sendiri, didirikan tempat pelaksanaan pidana khusus yang disebut sebagai Centrale Gevangenis voor Europeanen (Penjara Pusat untuk Orang-orang Eropa) ‘Jurnatan’ yang berada di Semarang. Berbeda dengan bangunan-bangunan “penjara” untuk pribumi yang dipidana kerja paksa, bangunan penjara ‘Jurnatan’ inilah bangunan pertama yang memang difungsikan khusus untuk tempat pelaksanaan pidana di Indonesia.

Kebijakan baru perlakuan terhadap terpidana ini mulai dilaksanakan oleh Kepala Urusan Kepenjaraan. Sejak saat ini pula kepenjaraan merupakan suatu urusan yang mempunyai pimpinan pusat dengan dilengkapi oleh para pejabat-pejabat seperti inspektur, direktur, pegawai teknik, dan administratif. Bangunan fisik penjara dikelilingi oleh tembok setinggi 4,5 meter, terdiri dari kamar-kamar besar yang menampung sekitar 25 orang terpidana. Namun demikian, karakteristik fisik penjara sentral yang besar, dengan kapasitas 700-2700 terpidana potensial menjadi tempat penularan kejahatan serta kekerasan antar narapidana.

Setelah ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (sekarang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tanggal 15 Oktober 1915 (diberlakukan tanggal 1 Januari 1918), tidak dikenal lagi adanya “pidana kerja”, namun diganti dengan “pidana hilang kemerdekaan”. Bersamaan dengan diberlakukannya Wetbuk van Strafrecht ini diberlakukan pula Gestichten Reglement Staatsblad (Reglemen Penjara) 1917. Perubahan ini tidak terlalu menemukan kesulitan karena para terpidana kerja paksa sebelumnya juga sudah dikonsentrasikan di penjara-penjara sentral untuk merampas kebebasan bergeraknya. Pelaksanaan Reglemen Penjara ini baru benar-benar dilakukan sesudah tahun 1920, ketika digantinya sistem Penjara-Penjara Sentral dengan Sistem Penjara Pelaksana Pidana. Bersamaan dengan perubahan ke sistem Penjara Pelaksana Pidana ini, ditetapkan pula Rumah Tahanan untuk menampung orang-orang yang masih dalam proses pengadilan.

Salah satu keinginan dari Hijmans, Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, dalam pelaksanaan Sistem Penjara Pelaksana Pidana tahun 1921 adalah dilakukannya reformasi penjara yang memberikan perhatian kepada terpidana anak dan pengklasifikasian terpidana dewasa. Menurutnya, untuk anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun ditempatkan di “rumah pendidikan”. Keinginan Hijmans ini disetujui pemerintah Hindia-Belanda saat itu dengan ditetapkannya bangunan penjara lama di Madiun sebagai rumah penjara perbaikan untuk anak-anak terpidana laki-laki di bawah umur 19 tahun. Rumah penjara khusus untuk anak di Madiun ini merupakan penjara pertama untuk orang-orang Indonesia yang difungsikan sebagai pelaksana pidana. Satu pemikiran Hijmans lainnya terkait dengan kepentingan anak yang juga sangat maju saat itu adalah wacana penempatan anak di luar penjara dengan syarat (probation) serta keharusan untuk selalu mendahulukan penyelesaian perkara anak.

Pada masa pendudukan Jepang, struktur organisasi kepenjaraan dan bentuk-bentuk perlakuan terhadap terpidana tidak jauh berbeda dengan yang telah diterapkan oleh Belanda. Meskipun secara teoritis Jepang sudah berfikir untuk melakukan reformasi dan rehabilitasi terhadap terpidana. Jepang juga melakukan pendidikan bagi petugas-petugas kepenjaraan. Namun dalam kenyataannya perlakuan terhadap terpidana selama pedudukan Jepang justru merupakan memori buruk bagi bangsa Indonesia. Perlakuan yang tidak lebih sebagai eksploitasi atas manusia untuk kepentingan perang Jepang saat itu.

3. Pemidanaan Masa Indonesia Merdeka (1945-1963)
Pemidanaan pasca kemerdekaan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode sebelum dan sesudah munculnya Pemasyarakatan sebagai model pemidanaan di Indonesia. Adapun momentum awal kebijakan kepenjaraan di Indonesia terjadi sekitar dua bulan setelah kemerdekaan, tepatnya saat dikeluarkannya Surat Edaran pertama dari Menteri Kehakiman RI pertama, Mr.Dr.Supomo, nomor G.8/588 tanggal 10 Oktober 1945. Edaran ini berisi penegasan bahwa semua penjara telah dikuasai oleh RI sehingga perintah-perintah terkait kepenjaraan harus berasal dari Menteri Kehakiman atau dari Mr. RP Notosusanto sebagai Kepala Bagian Urusan Penjara. Selain itu, edaran ini juga menekankan perbaikan dalam perlakuan terhadap terpidana, seperti; mengutamakan kesehatan terpidana khususnya kecukupan makanan, pemberian pekerjaan yang bermanfaat bagi perubahan perilaku terpidana, serta perlakuan yang harus manusiawi dan adil.

Pada 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa Reglemen Penjara 1917 masih dinyatakan berlaku, meskipun dilakukan sedikit perubahan dalam hal pengurusan dan pengawasan terhadap penjara-penjara. Tahun 1947, melalui surat edaran Nomor G.8/290 dinyatakan bahwa dalam proses pemindahan terpidana sedapat mungkin dilakukan tanpa harus berjalan kaki dan dibelenggu. Pada tahun yang sama melalui edaran nomor G.8/437 diinstruksikan agar dibentuknya bagian pendidikan dalam tata laksana kepenjaraan. Baik pendidikan untuk terpidana maupun untuk pegawai yang saat itu masih banyak yang buta huruf. Sementara itu, melalui edaran nomor G.8/1510 tahun 1948, Kepala Jawatan Kepenjaraan menginstruksikan agar dilakukan pemisahan yang ketat antara pelanggar hukum anak-anak dengan dewasa serta instruksi untuk menunjuk pegawai khusus untuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara. Pada periode 1946-1948 muncul pula kebijakan untuk melakukan diversi (langkah untuk menjauhkan pemrosesan perkara pidana secara formal) untuk kasus-kasus yang sebelumnya dipidana penjara, seperti mengemis. Pada periode ini pula ditetapkan pemberian remisi (pemotongan masa pidana) setiap tanggal 17 Agustus.

Langkah maju lainnya dalam kebijakan pemenjaraan pasca kemerdekaan Indonesia adalah munculnya edaran nomor J.H. 1.3/17/35 tahun 1952 tentang pedoman penempatan terpidana berdasarkan jenis kejahatan, lama pidana, status pendidikan, batas umur, jenis kelamin, status sosial, serta pemindahan terpidana dengan sisa pidana 3 (tiga) bulan ke penjara tempat asalnya agar dekat dengan keluarganya. Tahun 1952 juga merupakan tahun penyelenggaraan pertama kursus pengurus penjara. Sementara itu, tahun 1953 melalui edaran Kepala Jawatan nomor J.H. 3.18/4/33, dilakukan upaya memperoleh data-data tentang terpidana tertentu mengenai latar belakang perbuatannya, kemungkinan-kemungkinan untuk perbaikannya, cara-cara perlakuan yang sesuai, dan lainnya. Pada tanggal 6 Februari 1956 muncul pula pernyataan bersama antara antara Kementrian Sosial, Jawatan Kepenjaraan, Jawatan Pendidikan Masyarakat, Jawatan Penempatan Tenaga, dan Kantor Pusat Jawatan Penerangan Agama, tentang nasib bekas terpidana. Salah satu kesepakatan yang diambil adalah tetap merahasiakan status bekas terpidana.

Masih pada tahun 1956, tepatnya tanggal 20-24 Juli, diselenggarakan Konferensi Dinas Kepenjaraan Kedua di Sarangan. Konferensi sebelumnya diselenggarakan di Nusakambangan pada November 1951. Dalam konferensi Sarangan ini mulai muncul pemikiran tentang tujuan dari pemidanaan, yaitu mengembalikan terpidana ke masyarakat sebagai seorang anggota yang bergunadan tidak melakukan lagi pelanggaran terhadap tata hukum masyarakat. Dalam hal ini dipahami pula bahwa dalam mewujudkan proses pemberantasan kejahatan yang dimulai dari saat penangkapan oleh polisi sampai dengan kembalinya pelanggar hukum ke tengah masyarakat diperlukan bantuan penuh dari masyarakat dan instansi lain yang bersangkutan. Pengaruh dari konferensi Sarangan ini adalah mulai diikutsertakannya terpidana tertentu dalam aktivitas-aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pada periode ini, tujuan pemidanaan secara konseptual disebut dengan resosialisasi. Dalam perkembangannya, pengaruh pemikiran-pemikiran dalam kriminologi pada tahun 1960-an menciptakan pergeseran dalam pandangan terhadap kejahatan yang lebih memperhatikan aspek lingkungan kehidupan pelaku kejahatan. Sebelumnya perhatian lebih banyak diberikan pada aspek individu pelaku kejahatan itu sendiri.

4. Munculnya Pemasyarakatan Hingga Kini
Konsep Pemasyarakatan di Indonesia diperkenalkan secara formal pertama kali oleh Sahardjo SH saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum kepada dirinya oleh Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Saat itu, beliau adalah Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Di dalam pidatonya, Sahardjo menjelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, (juga ditujukan untuk) membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Secara singkat tujuan ini disebutnya sebagai Pemasyarakatan. Dalam beberapa diskusi yang dilakukan setelah itu oleh Sahardjo dengan Bahrudin Suryobroto disepakati bahwa konsep pemasyarakatan ini berkembang lebih jauh dari apa yang telah dianut sebelumnya sebagai tujuan pemidanaan, yaitu resosialisasi. Dalam hal ini tidak lagi memandang terpidana sebagai semata-mata sebagai manusia yang tidak lengkap sosialisasinya.

Perumusan lebih jauh konsep Pemasyarakatan ini dilakukan melalui Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang, Bandung, tanggal 27 April hingga 7 Mei 1964. Di dalam konferensi ini, Bahrudin Suryobroto yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, lebih jauh menjelaskan bahwa Pemasyarakatan bukan hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat, yang dapat dicapai melalui sebuah proses di mana terpidana turut serta secara aktif. Dalam hal inilah Pemasyarakatan berbeda dengan Resosialisasi yang lebih menekankan aspek individu terpidana bukan pada aspek integrasinya kembali dengan masyarakat.

Konsepsi Sahardjo tentang Pemasyarakatan yang juga dijelaskan lebih jauh oleh Bahrudin Suryobroto dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan tahun 1964 ini merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses, dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu masa penjajahan Belanda dan masa Indonesia merdeka 1945 hingga awal 1963. Pada masa sebelum diperkenalkannya konsep Pemasyarakatan, secara filosofis pemidanaan di Indonesia bertujuan untuk pembalasan, penjeraan, hingga resosialisasi. Pada masa penjajahan filosofi pemidanaan sangat terkait dengan kepentingan kontrol pemerintah kolonial terhadap pribumi. Sehingga upaya mencapai tujuan pembalasan dan penjeraan dari pemenjaraan justru dilakukan secara tidak manusiawi. Sementara pada periode Indonesia merdeka hingga sebelum diformalkannya konsep Pemasyarakatan (1945-1963) filososi resosialisasi lebih dominan.

Pasca Konferensi Dinas Kepenjaraan Nasional tahun 1964, sebagai bentuk komitmen pelaksanaan konsep Pemasyarakatan, Wakil Kepala Direktorat Pemasyarakatan, melalui Surat Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.6.8/506, menginstruksikan agar dilakukan penggantian nama kantor dan kesatuan dalam lingkungan direktorat dengan memakai Pemasyarakatan sebagai ganti dari Kepenjaraan. Semenjak tahun 1964 ini, sejumlah perubahan yang berpengaruh terjadi. Seperti pada periode 1975-1976 terselenggara sejumlah rapat kerja yang pada akhirnya berpengaruh terhadap munculnya manual-manual yang diperlukan dalam perlakuan terhadap terpidana berdasarkan konsepsi Pemasyarakatan. Beberapa manual yang berhasil disusun adalah; tentang Pembinaan Dalam Lembaga, Pembinaan Luar Lembaga, Manual Pembinaan Tuna Warga yang berisi model-model formulir dan register, serta manual tentang Pembinaan Sarana Sistem Pemasyarakatan. Pasca munculnya Pemasyarakatan, terjadi pula peningkatan hubungan dengan masyarakat dan dunia internasional dalam bentuk keikutsertaan pada kongres-kongres yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasca munculnya Pemasyarakatan pada tahun 1964 ini, diperlukan waktu lebih dari 30 tahun hingga Indonesia memiliki Undang-Undang khusus tentang Pemasyarakatan. Sebelum adanya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan pidana pemenjaraan di Indonesia masih menjadikan reglemen penjara sebagai “pedoman”. Hal ini di satu sisi tidak mengundang masalah karena secara prinsip (filosofis) telah ada komitmen besar untuk pemasyarakatan yang jauh berbeda dengan filosofi pemenjaraan. Namun di sisi lain, lamanya rentang waktu untuk dibuatnya UU khusus tentang Pemasyarakatan memperlihatkan lemahnya perhatian proses politik, di legislatif dan eksekutif.

Namun demikian, perkembangan Pemasyarakatan sebagai sistem telah didukung oleh sejumlah momentum parsial, seperti munculnya kebijakan struktural untuk pengkhususan penanganan narapidana anak. Sejak bulan November 1966, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawahi dua direktorat, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA). Hal ini menunjukkan bahwa dari awalnya Pemasyarakatan telah memiliki komitmen untuk membedakan perlakuan antara narapidana anak dengan dewasa. Komitmen ini bahkan berimplikasi pada aspek struktur organisasional. Hanya saja, pengalaman kekinian dari Pemasyarakatan memperlihatkan masih terbengkalainya upaya perlakuan khusus bagi narapidana anak. Meskipun sudah didirikannya Lapas khusus anak, namun pada struktur Direktorat tidak ada unit khusus yang difungsikan untuk itu. Selama ini penanganan narapidana anak berada di bawah Direktorat Pembinaan Kemasyarakatan, namun tidak ada seksi khusus.

Perkembangan lainnya pasca munculnya Pemasyarakatan yang juga penting nilainya adalah difungsikanya unit-unit pelaksana teknis pemasyarakatan sebagai pelindung hak asasi manusia. Seiring dengan munculnya Pemasyarakatan tahun 1964, tugas besar yang ingin diemban adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Didin Sudirman (2007) menjelaskan tentang hal ini. Rumah Tahanan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan martabat tahanan. Demikian pula halnya dengan Lembaga Pemasyarakatan yang mengupayakan seoptimal mungkin pemidanaan yang memanusiakan manusia, serta Balai Pemasyarakatan yang mengupayakan pertimbangan-pertimbangan proporsional bagi anak yang berhadapan dengan hukum di muka pengadilan.

Satu unit lain yang penting peranannya adalah Rupbasan. Sejumlah peraturan memperjelas serta memperkuat peran yang dimainkan oleh Rupbasan dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah agar dapat dihindarinya penyalahgunaan barang bukti dan barang sitaan. Hal ini diupayakan melalui pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara Yuridis dengan pejabat yang bertanggung jawab secara fisik atas barang-barang tersebut.

Selain mencatat sejumlah kemajuan, semenjak tahun 1980-an, Pemasyarakatan mulai berhadapan dengan masalah yang semakin kompleks. Baik masalah yang terkait dengan narapidana maupun masalah organisasional. Beberapa masalah yang cukup mendapatkan perhatian publik adalah semakin rendahnya kemampuan tampung lembaga pemasyarakatan, pelarian, kerusuhan, kekerasan, dan rendahnya kemampuan dalam memenuhi hak-hak narapidana. Menurut Dirdjosisworo (1984), pelaksanaan Pemasyarakatan di Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah masalah, seperti; gedung atau bangunan penjara yang masih peninggalan Belanda, keterbatasan pemahaman sumber daya manusia, biaya, dan masyarakat yang masih belum dapat menerima kembali mantan narapidana. Pemasyarakatan secara filosofis tidak dapat diselenggarakan dengan setting kepenjaraan. Bila sistem pemidanaan masih bersifat pemberian derita yang tercermin dari bangunan penjara, cara perlakuan yang tidak manusiawi, serta penelantaran hak-hak narapidana, maka selama itu pula sistem pemidaan masih berbentuk kepenjaraan. Sebagaimana dijelaskan oleh Duff dan Garland (1994), untuk menguji filosofi penghukuman tidak dapat dilakukan saat masih di atas kertas, namun lebih jauh dari itu dilakukan saat direalisasikan dalam praktek.


B. Isu-Isu Utama dalam Sistem Pemasyarakatan

1. Deinstitusionalisasi
            Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan criminal policy (kebijakan kriminal) yang menjadi salah satu bagian dari social management system (sistem manajemen sosial). Secara umum, manajemen sosial yang dilakukan melalui Sistem Pemasyarakatan ini dapat dibedakan menjadi kebijakan pemenjaraan dan kebijakan non pemenjaraan. Kebijakan non pemenjaraan, atau yang juga disebut dengan deinstitusionalisasi, merupakan salah satu isu utama dalam Sistem Pemasyarakatan dewasa ini, baik yang dilakukan oleh internal Sistem Pemasyarakatan maupun yang terkait dengan fungsi sub-sub sistem peradilan pidana lainnya. Deinstitusionalisasi penghukuman oleh sub-sub sistem peradilan pidana di luar Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk diskresi, diversi, keadilan restoratif, serta putusan hukuman percobaan atau kerja sosial oleh pengadilan. Sementara deinstitusionalisasi penghukuman oleh Sistem Pemasyarakatan dapat berbentuk pembebasan bersyarat hingga bentuk-bentuk penghukuman yang berbasis masyarakat seperti community based correction.
            Filosofi reintegrasi sosial yang menjadi latar belakang munculnya Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya sangat menekankan aspek pengembalian narapidana ke masyarakat. Oleh karenanya, dalam perkembangan lebih jauh dari filosofi reintegrasi sosial tersebut muncul sejumlah sintesa yang sangat jelas memperlihatkan komitmen untuk melakukan deinstitusionalisasi penghukuman. Beberapa perkembangan yang dimaksud adalah munculnya Community Based Correction, restorative justice, dan bentuk-bentuk pidana alternatif lainnya. Sangat jelasnya perkembangan filosofis reintegrasi sosial ini menuntut keterbukaan Pemasyarakatan untuk perubahan.
            Perkembangan filosofi penghukuman ke arah deinstitusionalisasi ini pada prakteknya telah coba diadaptasikan ke dalam sistem hukum Indonesia meskipun masih sebatas rancangan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, selain menuntut keterbukaan Sistem Pemasyarakatan, yang jauh lebih adalah pemahaman bahwa ke depan tugas bagi Sistem Pemasyarakatan akan semakin berat. Rancangan KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 54 (1) dan (2) mempertagas pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan ke depan. Rancangan ini telah secara eksplisit menjelaskan bahwa pemasyarakatan merupakan tujuan pemidanaan di Indonesia.
            Selain itu, rancangan KUHP juga mulai beradaptasi dengan upaya institusionalisasi penghukuman. Tentunya hal ini juga menuntut kesiapan dan peran aktif Sistem Pemasyarakatan ke depan sebagai pelaksana hukuman. Dalam pasal 65 RKUHP dijelaskan, bahwa pidana pokok terdiri dari; pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Keberadaan pidana kerja sosial ini jelas merupakan langkah deinstitusionalisasi penghukuman. Pelaksanaannya sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Balai Pemasyarakatan. Oleh karenanya, Sistem Pemasyarakatan perlu melakukan penguatan kapasitas dari Bapas sebagai organisasi, terkait dengan perencanaan dan penganggarannya, serta penguatan kapasitas dari sumber daya manusianya.
            Perkembangan lain, selain RKUHP, juga menegaskan pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan di masa datang, khususnya Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan. Dalam rancangan Undang-Undang Peradilan Pidana Anak (RUU PPA) telah disinggung upaya deinstitusionalisasi penghukuman, sekaligus menjadi tuntutan untuk penguatan fungsi-fungsi Lapas dan Bapas. Dua alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum menurut RUU PPA ini adalah diversi dan keadilan restoratif. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa atau hakim. Sementara keadilan restoratif adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan. Pentingnya memperkuat peran Lapas dan Bapas ini terkait dengan penegasan-penegasan eksplisit dalam RUU PPA ini tentang pentingnya penelitian kemasyarakatan (pasal 37 RUU) serta pembinaan dan pembimbingan anak (Bab XI RUU).
            Tanpa melihat perkembangan dalam rancangan dalam RKUHP maupun RUU PPA tersebut di atas pun pada dasarnya sejumlah kebijakan dalam Sistem Pemasyarakatan telah mengarah ke deinstitusionalisasi tersebut. Seperti diberikannya Pembebasan Bersyarat dan Cuti. Hanya saja dalam praktek kebijakan ini belum dapat diterima oleh sebagian besar narapidana. Selain karena sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, belum maksimalnya implementasi PB dan cuti ini juga sangat terkait dengan masih rendahnya kapasitas dari Bapas. Masih minimnya kebijakan deinstitusionalisasi ini, meskipun memungkinkan, juga terkait dengan masih tingginya sentimen penghukuman pada sub SPP lainnya. Oleh karenanya, diperlukan koordinasi filosofis serta koordinasi manajemen (organisasi) antara lembaga-lembaga yang tergabung dalam SPP tersebut.
            Terkait dengan dorongan ke arah deinstitusionalisasi penghukuman dalam Sistem Pemasyarakatan, telah berkembang beberapa model yang pula dapat dikembangkan di Indonesia. Bagian berikut ini akan menjelaskan dua model dominan dan terkait erat dengan filosofi Reintegrasi Sosial dari Sistem Pemasyarakatan.

Community Based Correction
            Menurut Snarr (1996), Community Based Correction (CBC) berkembang pada paruh terakhir abad ke-20, khususnya mulai tahun 1967. Tulang punggung pelaksanaan CBC di awal perkembangannya adalah probation (pidana bersyarat) dan parole (pembebasan bersyarat). Secara umum, tema sentral dari CBC ini adalah penyediaan pelayanan (pembinaan terhadap narapidana) dengan keterlibatan masyarakat. Tentang keterkaitan erat antara konsep Reintegrasi Sosial dengan CBC ini, Snarr menegaskan, bahwa (upaya) reintegrasi mengharuskan keterlibatan atau partisipasi dalam institusi-institusi komunitas. Dalam hal ini, reintegrasi berangkat dari premis yang mengatakan, bahwa jika seseorang mampu untuk terlibat dalam institusi-institusi sosial utama serta dalam setiap aktivitas masyarakat akan meningkatkan peluang bagi munculnya perilaku taat hukum. Di lain pihak, secara ringkas Snarr menjelaskan CBC adalah setiap aktivitas yang melibatkan komunitas (masyarakat) untuk tujuan mengintegrasikan kembali terpidana dapat disebut sebagai upaya CBC. Meskipun dalam hal ini Snarr menegaskan tidak secara otomatis setiap keterlibatan fasilitas lokal dalam hal pemidanaan dapat selalu dikategorikan sebagai CBC, bila fasilitas lokal tersebut hanya difungsikan sebagai tempat penahanan.
            CBC dalam konteks kajian pencegahan kejahatan berasal dari strategi pencegahan dengan pendekatan masalah-masalah sosial yang dalam prakteknya lebih menekankan pada sumber daya masyarakat, selain pula perlunya dukungan dari pemerintah dan kalangan bisnis pada tingkat lokal. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP), keterbatasan kemampuan dari sub-sub sistem Peradilan Pidana dalam penegakan hukum dan pencegahan kejahatan, seperti biaya pemenjaraan yang semakin besar akibat over crowding, merupakan latar belakang utama mengapa diperlukannya keterlibatan masyarakat secara lebih luas. Secara umum CBC sangat berpotensi membangun pemahaman masyarakat tentang tanggung jawab serta peran yang harus dimainkannya dalam pencegahan kejahatan secara aktif.
            Mengacu pada Snarr (1996), ada beberapa alasan munculnya Community Based Correction sebagai alternatif dari pemenjaraan. Pertama, ketidakpuasan terhadap kondisi penjara, seperti overcrowding, dana yang tidak cukup, extreme idleness (ketiadaan kegiatan atau pekerjaan yang membuat narapidana terbengkalai), kurangnya program-program yang bermanfaat, hingga ketidakamanan di dalam penjara. Satu kondisi lain yang merupakan dampak dari kondisi-kondisi sebelumnya terjadinya prisonisasi, yaitu proses pembelajaran kejahatan antar narapidana selama berada dalam penjara. Kedua, alasan kemanusiaan, di mana hal ini adalah sesuatu yang sulit untuk dijamin bila seseorang berada di dalam penjara. Ketiga, efektivitas pembiayaan yang sulit sekali dicapai dalam pemenjaraan tradisional. Dalam pelaksanaan Community Based Correction, seorang terpidana akan berada di masyarakat dan melakukan kegiatan seperti anggota masyarakat biasa lainnya. Dengan bekerja diharapkan narapidana mampu memperoleh pendapatan, yang sekaligus akan mengurangi beban yang seharusnya ditanggung dalam pelaksanaan pidana terhadap dirinya. Keempat, terciptanya administrasi keadilan yang lebih baik. Community Based Correction menawarkan peluang bagi kerjasama yang lebih besar antara kepolisian, pengadilan dan lembaga koreksi (pemasyarakatan) pada tingkat lokal. Kelima, adalah posisinya CBC sebagai intermediate sanctions. Muncul CBC pada dasarnya dapat menjadi pidana pengganti dalam menanggulangi biaya operasional dari pemenjaraan.
            Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan CBC ini sangat bergantung pada beberapa aspek. Mengacu pada McCarthy, et.al. (2001) ada sejumah syarat dalam tercapainya tujuan yang diharapkan oleh CBC ini, sebagaimana dijelaskan berikut ini. Pertama, lokasi yang didalamnya terdapat interaksi dengan meaningful community, yaitu sebuah lingkungan yang menawarkan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan para pelaku kejahatan. Efektivitas pelaksanaan CBC sangat memerlukan penerimaan dari masyarakat karena tujuan akhirnya adalah integrasi. Syarat lokasi ini idealnya dilakukan pada tempat di mana terpidana berasal, atau melakukan kejahatan. Namun dalam hal-hal tertentu muncul penolakan dari masyarakat sehingga tujuan integrasi yang diharapkan sulit tercapai. Kedua, terkait dengan syarat pertama, yaitu diperlukannya lingkungan yang memiliki batasan fisik yang minimum, namun pelaku kejahatan tinggal dengan seseorang yang bertanggung jawab dengan pengawasan yang minimal. Ketiga, adanya program pendidikan, pelatihan, konseling, dan layanan-layanan dukungan lainnya yang berbasis pada komunitas. Dalam hal ini disediakan oleh non lembaga koreksi dan lembaga swasta. Jikapun ada keterlibatan petugas lembaga koreksi maka diorganisir dalam jejaring penyedia layanan yang komprehensif. Keempat, diciptakannya kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk mengasumsikan dengan faktor usia. Dalam praktekknya, CBC sangat mengharapkan keterlibatan aktif pesertanya dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti bekerja. Sehingga untuk memungkinkan hal ini terjadi, maka narapidana yang mengikuti program ini sebaiknya adalah mereka yang masih berada pada usia produktif (usia 17-60 tahun). Ketiga, aspek gender. Program CBC akan efektif bila dilakukan terhadap narapidana dengan jenis kelamin yang sama. Keempat, lamanya durasi program. Secara ideal CBC diikuti oleh mereka yang masa pidananya paling sedikit enam bulan sampai satu tahun. Kelima, karakteristik dari narapidana. Dalam praktek, CBC tidak menerapkan pengawasan yang sangat ketat, sehingga untuk narapidana tertentu dengan kecenderungan berbahaya dan emosional akan mengganggu pelaksanaan program. Demikian pula dengan narapidana yang memiliki keterbatasan fisik karena ada pekerjaan-pekerjan yang harus dilakukan, serta narapidana yang memiliki kebiasaan penyimpangan seksual. Keenam, pengawasan terhadap narapidana yang memiliki ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang dan alkohol, serta ditempatkan pada lingkungan yang khusus.
            Berdasarkan pengalaman beberapa negara, program-program CBC yang pernah dipraktekkan adalah (lihat Rosyitawati, 2006), Boot Camp, yaitu kamp hunian dengan kapasitas 50 orang dan menjalankan program-program bagi narapidana yang telah disiapkan menjalani rehabilitasi. Boot Camp diterapkan justru bergaya militer dengan disiplin yang ketat serta dengan berbagai kegiatan-kegiatan fisik. Lain lagi dengan Halfway House, semacam rumah singgah untuk narapidana, baik yang tengah menjalani pidana penjara dalam pelaksanaan parole (bebas bersyarat) maupun bagi pidana alternatif (deinstitusionalisasi) bagi narapidana yang diberikan probation (hukuman bersyarat), khususnya untuk masa pidana selama dua atau tiga bulan. Bentuk lainnya adalah furlough, sebagai pemberian keleluasaan bagi narapidana untuk pergi bekerja atau melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di masyarakat  secara lebih bebas selama hampir 10 jam. Larangan bepergian hanya dilakukan pada malam hari.
            Dalam penelitiannya tentang penerapan CBC di Indonesia,  Rosyitawati (2006) menjelaskan bahwa selain asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga (CMK) dan pembebasan bersyarat (PB) bentuk lainnya dari pelaksanaan CBC di Indonesia adalah pelaksanaan pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Pada dasarnya, keberadaan lapas terbuka ini merupakan bentuk ideal dari Pemasyarakatan yang sangat menekankan aspek integrasi yang terjadi antara narapidana dengan masyarakat. Meskipun bila diukur dengan sejumlah indikator keberhasilan CBC, lapas terbuka belum mampu menjalankan proses idealnya. Beberapa kendala yang membuat Lapas Terbuka belum mampu menerapkan prinsip CBC ini menurut Rosyitawati adalah rendahnya kemampuan sumber daya manusia, masih kurangnya peran  pemerintah dalam bentuk anggaran, serta dukungan masyarakat secara keseluruhan.

Restorative Justice
            Perkembangan lainnya dari filosofi reintegrasi sosial, sekaligus upaya deinstitusionalisasi pemidanaan ini adalah restorative justice. Secara sederhana restorative justice adalah upaya penyelesaian informal atau di luar peradilan pidana secara bersama-sama kasus pelanggaran hukum dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur penegak hukum. Menurut Tony Marshall (1999), restorative justice adalah seperangkat prinsip mendefinisikan restorative justice sebagai pendekatan penyelesaian masalah kejahatan yang melibatkan pihak-pihak yang terkait (pelaku dan korban), komunitas umumnya, serta (melalui) hubungan yang aktif dengan pihak-pihak (penegak hukum) yang berwenang. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dari restorative justice adalah (Marshall, 1999):
-         Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka yang memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga keluarga mereka dan komunitas secara keseluruhan).
-         Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
-         Merupakan upaya penyelesaian masalah kejahatan yang melihat ke depan (preventif)
-         Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas)

            Dalam sejarah perkembangannya, restorative justice tidak lepas dari aspek sosio-kultural dari masyarakat timur yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural tersebut adalah praktek penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme penyelesaian restorative justice ini memiliki potensi besar untuk dilaksanakan untuk kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat.
           

2. Masalah Makro Struktural
            Kejelasan posisi Sistem Pemasyarakatan sebagai upaya reintegrasi narapidana dengan masyarakatnya di satu sisi sangat menjanjikan bagi terciptanya politik pemidanaan yang sangat maju. Namun di sisi lain terus berlarutnya  permasalahan dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia saat ini memberikan indikasi masih jauhnya Pemasyarakatan dari pencapaian seharusnya. Sejumlah penelitian memperlihatkan adanya beberapa masalah yang sangat berpengaruh terhadap Sistem Pemasyarakatan Indonesia selama ini. Masalah-masalah tersebut secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, masalah organisasional yang dalam banyak kasus cenderung menghambat tujuan pemasyarakatan. Isu utama terkait organisasional ini adalah diskursus tentang format kelembagaan yang lebih terdesentralisasi, serta proses kebijakan antara top down policy process atau bottom up policy process. Kedua, masalah teknis pemasyarakatan yang secara umum menyangkut proses pembimbingan oleh Bapas, Perawatan oleh Rutan, Pembinaan oleh Lapas, dan pengelolaan oleh Rupbasan. Beberapa isu yang terkait dengan proses pembinaan ini adalah tidak berkembangnya metode pembinaan dan rendahnya kemampuan pemasyarakatan untuk memenuhi hak-hak narapidana. Ketiga, masalah pengawasan dan partisipasi. Dalam hal ini, mekanisme internal di Departemen Hukum dan HAM belum cukup efektif dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pemasyarakatan sehingga sejumlah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi tidak terselesaikan dengan baik. Selain itu, kelemahan internal ini justru tidak secara otomatis membuat departemen membuka diri terhadap pengawasan eksternal.
            Masih dalam kerangka ini, Sistem Pemasyarakatan juga belum mendapatkan dukungan (support) berupa partisipasi pihak ketiga, baik dari unsur pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan. Dengan semakin pentingnya peran Sistem Pemasyarakatan ke depan, terkait dengan rencana pembangunan hukum dalam RKHUP yang semakin memperjelas tujuan penghukuman dan keberadaan hukuman alternatif, dukungan bagi Sistem Pemasyarakatan dari pihak ketiga sangat diperlukan. Terlebih bila dihadapkan dengan kompleksitas permasalahan yang tengah dihadapi oleh Sistem Pemasyarakatan sekarang ini, seperti dalam manajemen organisasi, proses perencanaan dan penganggaran, teknis pemasyarakatan dan lainnya.
            Secara teoritis, masalah makro struktural tersebut dapat dikategorisasi menjadi tiga bagian besar, yaitu masalah otonomi, masalah teknologi, dan masalah kontrol sosial. Masalah otonomi (problem of autonomy) adalah masalah yang muncul karena kurangnya otonomi dari Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah organisasi. Di Indonesia, kewenangan unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan juga Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara struktural cenderung terbatas hanya pada kewenangan teknis. Kebijakan-kebijakan fasilitatif dan pengembangan sumber daya berada di Departemen, khususnya pada Sekretariat Jenderal. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kurang memiliki kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran sendiri, meskipun dapat dianggap bahwa Direktorat adalah stakeholder yang paling berkepentingan dengan berjalannya tugas pokok dan fungsi UPT-UPT dengan baik.
            Masalah teknologi (problem of technology) adalah masalah yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi “kor bisnis” dari pemasyarakatan, mulai dari pembimbingan, perawatan, pengelolaan dan pembinaan. Masalah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan ini sangat terkait dengan masalah otonomi. Belum terdesentralisasinya kewenangan perencanaan dan penganggaran di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebabkan UPT-UPT Pemasyarakatan berhadapan dengan masalah kurangnya sumber daya dana, manusia, dan aspek-aspek fasilitatif lainnya.
            Sedangkan masalah kontrol sosial (problem of social control) terkait dengan belum efektifnya pengawasan internal di lingkup Departemen dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan itu sendiri, serta belum terbukanya keterlibatan unsur masyarakat sipil dalam pengawasan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemasyarakatan itu.   
            Ketiga masalah tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan kondisi internal Pemasyarakatan itu sendiri. Seperti kultur Rutan dan Lapas, serta etos kerja dan kapasitas petugas. Inilah mengapa berbagai masalah di UPT, serta penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan, seperti kekerasan antar narapidana, antara petugas dengan narapidana, kerusuhan, pelanggaran hak dasar manusia, homoseksualitas, residivisme, tidak dapat semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang dilatarbelakangi oleh motivasi petugas atau warga binaan itu sendiri. Selain itu, ketiganya juga sangat terkait dengan seberapa besar pemahaman serta dukungan yang diberikan oleh sub-sub SPP lainnya.

3. Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Pemasyarakatan di Depan, Tengah dan Penghujung SPP
            Bila mengikuti apa yang selama ini dipahami tentang sistem peradilan pidana, maka posisi sistem pemasyarakatan hanya berada di penghujung sistem. Dengan kata lain, Pemasyarakatan hanyalah tempat menahan terpidana setelah diproses secara hukum oleh polisi, jaksa, dan pengadilan. Permasalahannya, posisi pemasyarakatan sebagai penghujung SPP ini juga ditegaskan oleh UU Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 itu sendiri.
            Dalam kenyataannya, pemasyarakatan tidaklah sistem yang berperan hanya di penghujung SPP. Sebagaimana telah dijelaskan, Rutan dan Bapas berperan jauh sebelum seseorang diputus menjadi terpidana oleh pengadilan. Sehingga kenyataan ini mengharuskan masyarakat, khususnya sub-sub sistem peradilan pidana lainnya, mengubah anggapan yang selama ini dominan. Bila pula dikaitkan dengan rencana pembangunan hukum nasional, sebagaimana diperlihatkan oleh RKUHP, maka posisi Sistem Pemasyarakatan semakin jelas tidak hanya sebagai penghujung SPP, namun juga di awal dan di tengah proses peradilan pidana. Pada aspek filosofis, RKUHP justru menjelaskan Pemasyarakatan adalah tujuan penghukuman yang harus diinternalisasi oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga Pengadilan.
           
Optimalisasi Kewenangan Sub SPP
            Sejumlah masalah yang muncul dalam sistem pemasyarakatan dewasa ini, khususnya masalah overcrowded sangat terkait dengan peran yang seharusnya dapat dimainkan oleh sub sistem peradilan pidana lainnya. Kenyataan sekarang ini memperlihatkan adanya kecenderungan sub sistem peradilan pidana lainnya untuk menahan dan memenjarakan sebanyak mungkin orang. Hal ini dibuktikan dengan masih minimnya keinginan polisi, jaksa, dan hakim menggunakan kewenangan yang mereka miliki secara informal untuk mengalihkan seseorang dari penahanan atau pemenjaraan.
            Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan filosofi sekarang ini lebih mengarah pada deinstitusionalisasi penghukuman. Rencana pembangunan hukum di Indonesia pun mempertegas kecenderungan ini dalam RKUHP. Pelaksanaannya tentu saja menuntut pemahaman yang sama serta dukungan dari sub sistem peradilan pidana lainnya. Seperti pelaksanaan restorative justice yang membutuhkan pengertian dari polisi.

Model-Model Sinkronisasi Kerja
            Pada tingkat makro, sinkronisasi kerja antar sistem peradilan pidana memerlukan perubahan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perubahan pada UU Nomor 12 Tahun 1995, serta diformulasinya Undang-Undang khusus yang mengatur sinkronisasi kerja sub-sub sistem peradilan pidana agar Integrated Criminal Justice System benar-benar dapat diwujudkan. Beberapa prinsip yang harus didukung dalam hal ini adalah:
  1. Secara eksplisit memposisikan Pemasyarakatan tidak hanya sebagai penghujung sistem peradilan pidana. Namun juga berada dalam proses pra-ajudikasi dan ajudikasi.
  2. Secara eksplisit mengharuskan sub-sub sistem peradilan pidana lainnya melakukan sinkronisasi dengan tujuan-tujuan pemasyarakatan. Hal ini juga mengingat kecenderungan di RKUHP. Tujuan pemidanaan adalah integrasi kembali terpidana dengan masyarakat, sehingga model-model perlakuan yang berbasis masyarakat perlu diprioritaskan. Salah satu bentuk sinkronisasi kerja adalah dengan mengupayakan diversi (pengalihan) dari pemenjaraan melalui kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing sub sistem peradilan pidana. Setidaknya diprioritaskan untuk first offender untuk kejahatan yang ringan dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
  3. Dalam jangka pendek, sinkronisasi kerja ini dapat diwujudan melalui kesepahaman tertulis (Memmorandum of Understanding).

4. Perempuan dan Anak dalam Pemasyarakatan
            Membahas Sistem Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem sering terjebak dalam pola pikir yang lebih berorientasi pada kebutuhan narapidana laki-laki dewasa sebagai mayoritas dari keseluruhan populasi narapidana di Indonesia. Sebagai konsekuensi, isu-isu yang spesifik tentang perempuan dan anak di dalam pemasyarakatan sering tidak mendapatkan perhatian yang cukup dan tercermin pula dalam setiap kebijakan.
            Ketidakpekaan terhadap aspek gender dalam sistem peradilan pidana secara sosiologis sangat terkait dengan kultur masyarakat. Serta kebijakan-kebijakan negara dalam konteks yang lebih luas. Di lain pihak saat ini dunia internasional telah membuat konsensus formal tentang perlindungan terhadap diskriminasi gender, melalui sejumlah instrumen internasional, seperti Deklarasi Universal HAM, Konvensi  Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women, Declaration on the Elimination of Violence against Women, General Recommendation No.19 on Violence against Women, dan banyak lainnya. Terkait dengan posisi Indonesia yang telah meratifikasi dua instrumen HAM terkait bias gender dan anak, yaitu CEDAW (Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan) dan CRC (Konvensi Hak Anak), maka kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan harus mulai mempertimbangkan spesifik gender dan anak.
Kenyataannya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya pemidanaan (pemasyarakatan) belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional. Dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, hal yang spesifik gender baru terbatas pada pembedaan tempat dalam proses pembinaan terhadap narapidana wanita, yaitu di LP khusus wanita. Demikian pula dengan kebijakan khusus tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas gender dan kepekaan terhadap anak baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan narapidana khusus perempuan. Secara prinsipil yang seharusnya dilakukan adalah menjadikan aspek spesifik gender sebagai dasar pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dalam pemasyarakatan. Baik tercermin pada manajemen (struktur) organisasi, proses perencanaan dan penganggaran, pengembangan sumber daya manusia Sistm Pemasyarakatan, teknis Sistem Pemasyarakatan, serta dalam aspek pengawasan dan partisipasi. Tujuan akhirnya adalah dihasilkannya kebijakan-kebijakan Sistem Pemasyarakatan khusus perempuan dan juga anak yang berbeda dengan kebijakan-kebijakan pemasyarakatan terhadap narapidana laki-laki dewasa. Selama ini proses pembinaan untuk perempuan dan anak cenderung tidak memiliki perbedaan spesifik dan terukur dengan laki-laki dewasa. Hal utama yang diperlukan adalah sebuah kebijakan khusus yang komprehensif dan tidak bersifat parsial. Seperti dibuatnya aturan-aturan khusus tentang pola pembinaan untuk perempuan dan anak, juga dalam proses penganggaran.
Tentang pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik yang sesuai dengan kebutuhan anak dan perempuan perlu dirumuskan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bersama dengan stakeholder terkait yang memiliki perhatian pada masalah anak dan perempuan. Namun demikian secara umum pola pembimbingan, pelayanan, dan pembinaan spesifik anak dan perempuan ini akan didasari oleh prinsip perlindungan dan pemenuhan kebutuhan spesifik anak dan perempuan; seperti penekanan pada pendidikan pelayanan psikologis dan kesehatan. Serta yang jauh lebih penting adalah optimalisasi deinstitusionalisasi penghukuman, di mana penjara adalah alternatif terakhir bagi anak dan perempuan yang memiliki tanggungan anak.
Instrumen internasional khusus untuk pemenjaraan dan penahanan; Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1955), dalam aspek tertentu telah memberikan pedoman tentang hal ini. Pada bagian I, aturan nomor 23 dari SMR sebagai contoh menjelaskan, (1) dalam lembaga pemasyarakatan perempuan harus ada akomodasi untuk semua perawatan dan pengobatan yang diperlukan sebelum dan sesudah melahirkan. Harus dibuat perencanaan bilamana dapat dilakukan agar seorang anak lahir dalam penjara maka fakta ini tidak boleh disebutkan dalam akte kelahiran. (2) Bilamana bayi-bayi yang sedang menyusui dibolehkan tinggal di lembaga yang disiapkan, harus dipersiapkan suatu tempat penitipan yang dilengkapi dengan petugas yang berkualitas, di mana bayi-bayi ditempatkan ketika mereka tidak dalam penjagaan ibu mereka.

            Bloom et.al. (2002) menjelaskan bahwa banyak sistem yang menangani perempuan di dalam sistem peradilan pidana tidak memiliki kebijakan resmi dan tertulis tentang manajemen dan supervisi para pelanggar hukum perempuan. Bilapun ada, aturan yang digunakan adalah aturan yang awalnya dirancang untuk mengatur dan mensupervisi warga binaan laki-laki. Lebih jauh Bloom, et.al. menegasan bahwa strategi-strategi kebijakan pemidanaan yang responsif dan sensitif gender adalah yang mampu menciptakan lingkungan dan pemahaman yang menyesuaikan dengan realitas kehidupan perempuan serta yang secara langsung menanggapi isu-isu perempuan.
            Beberapa masalah yang dominan dalam pemasyarakatan narapidana perempuan terkait dengan psikologis narapidana serta substansi pembinaan yang lebih menekankan pembinaan yang bersifat ‘kewanitaan’. Masalah psikologis berupa kecemasan hingga depresi yang dialami narapidana perempuan ini sangat terkait dengan tekanan struktur sosial dan budaya (dominan patriarki). Selain itu beberapa narapidana perempuan juga berhadapan dengan belum maksimalnya jaminan hak bagi untuk merawat dan mengasuh anak (yang masih berusia di bawah 2 tahun) di dalam Lapas. Selain terbatasnya kamar juga karena kondisi yang belum higienis. Selain itu, kebijakan menutup pintu kamar membuat anak-anak turut ‘terpenjara’ bersama. Selain itu, tekanan psikologis lainnya yang umum diderita narapidana perempuan adalah penceraian oleh suami akibat stigma terhadap dirinya yang berstatus terpidana. Hal ini juga berujung pada tidak jelasnya nasib anak.
            Secara umum, permasalahan narapidana perempuan ini sangat terkait dengan kesadaran, perhatian serta prioritas dari pemerintah, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Keterbatasan anggaran membuat pihak Lapas sebagai UPT tidak dapat memberikan kebutuhan serta fasilitas khusus bagi perempuan. Strategi kebijakan bagi Lapas laki-laki dewasa, yang lebih menekankan aspek keamanan, menjadi acuan bagi Lapas Wanita. Salah satu implementasinya adalah ditutupnya Blok dan kamar dalam jangka waktu yang cukup lama setiap harinya. Selain mengabaikan kenyataan bahwa tingkat pelarian Warga di Lapas Wanita sangat kecil, kebijakan ini juga merugikan para Warga Binaan yang ingin agar anak-anaknya bisa menghirup udara di luar kamar lebih lama. Kenyataan lainnya dari marjinalnya isu perempuan dan anak tergambar dari proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa kasus spesifik adalah tidak terdapatnya anggaran khusus bagi perawatan kesehatan reproduksi, belum dipenuhinya kebutuhan obat-obatan hormonal, serta dalam tindakan medis darurat.
            Jauh sebelumnya, pemerintah khususnya aparatur penegak hukum belum bisa memahami apa yang oleh Steffensmeier dan Allan (1996) sebagai konteks sosial dan struktur masyarakat yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan. Banyak di antara kejahatan yang dilakukan adalah sebuah pilihan yang sulit di tengah keputusasaan. Oleh karenanya, proses pemasyarakatan bagi perempuan jelas harus berbeda dengan yang dominan diterapkan pada narapidana laki-laki dewasa.
Strategi kebijakan yang menekankan pada aspek keamanan yang jauh dari sensitifitas gender juga mengurangi hak Warga Binaan perempuan untuk mendapatkan Cuti Mengunjungi Keluarga karena kenyataan angka kembali yang rendah. Di lain pihak, kenyataan ini tidak dapat dipahami secara sempit. Budaya Indonesia yang menempatkan beban pengasuhan dan perawatan keluarga pada perempuanlah yang menyebabkan Warga Binaan tidak kembali setelah mendapat CMK terkait adanya beban psikologis. Oleh karenanya upaya antisipatifnya adalah membuka ruang komunikasi yang lebih baik dengan keluarganya.
            Selain permasalahan ketika di dalam lembaga, permasalahan spesifik narapidana perempuan juga berlanjut hingga masa bebas. Penelitian Christine Wilkinson (2004) menyimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan perempuan akan tempat tinggal, mendapatkan nafkah dan dengan demikian juga memperoleh pekerjaan, pendidikan ketrampilan yang menunjang untuk dapat memperoleh pekerjaan seharusnya dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum ia bebas dari penjara. Chesney-Lind dan Pasko (2004) juga senada. Keduanya menawarkan strategi-strategi dan program-program berbasis masyarakat sebagai upaya menurunkan jumlah perempuan di penjara dan sebagai upaya pencegahan residivisme. Mengacu pada Studi Allegritti (2000) ada sejumlah prinsip dari program-program yang dianggap sensitif dan responsif gender, yaitu:
-          Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman isu-isu perempuan dan kebutuhan perempuan yang kompleks dan yang mengerti bagaimana mengimplementasikan pelayanan yang sensitif gender secara praktis.
-          Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas perawatan dan perkembangan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi di dalam proses pembuatan keputusan
-          Menggunakan pendekatan holistik
-          Mengakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran gender yang dikonstruksi secara sosial dapat memojokkan posisi perempuan
-          Menjamin bahwa fokusnya adalah pada mengembangkan dan mengimplementasikan layanan yang tepat dan memenuhi kebutuhan perempuan, dan bukannya memaksakan agar perempuan ‘cocok’ dengan layanan yang sudah ada sebelumnya yang hanya memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang didominasi laki-laki.

            Sama halnya dengan model pembinaan yang seharusnya diberikan kepada narapidana perempuan, untuk narapidana anak juga terdapat sejumlah perkembangan internasional yang mempengaruhinya. Di antara instrumen internasional khusus yang harus mendasari proses pembinaan untuk anak adalah Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Prinsip penting dalam konvensi ini adalah;
-        Negara berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana.
-        Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan, pemberian nasehat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan.

            Mengacu pada Yablonski (2000), salah satu masalah umum yang selalu dihadapi oleh narapidana anak adalah pendidikan. Yablonski menyimpulkan bahwa program sekolah yang efektif dapat menjadi suatu solusi pencegahan residivisme anak-anak. Di Indonesia hak anak untuk pendidikan di dalam lapas masih terkendala. Beberapa faktor yang menyebabkan adalah kualitas dari tenaga pengajar, karena umumnya mereka bukan guru namun petugas lapas. Dengan kondisi demikian maka kualitas pendidikan di Lapas sangat jauh berbeda dengan pendidikan di sekolah umum, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas kemampuan lulusannya. Oleh karenanya sangat dibutuhkan pelatihan atau pendidikan yang memperkuat kemampuan mereka untuk mengajar anak, menguasai metode pengajaran dan penguasaan materi  bidang studi.
            Selain karena kualitas SDM, masih rendahnya kualitas pemenuhan hak pendidikan juga disebabkan oleh tidak adanya dana penunjang khusus. Mata anggaran untuk lapas anak sama dengan struktur anggaran lapas lainnya dengan tidak tersedianya secara khusus dana untuk pendidikan.
Rosenheim (2002) menjelaskan juvenile justice system merupakan seperangkat lembaga yang membuat keputusan yang berkelanjutan dan saling berhubungan tentang intervensi negara terhadap kehidupan anak-anak. Juvenile justice system mengacu pada polisi, pengadilan anak, petugas yang menerima mereka masuk ke dalam sistem dan petugas probation, kejaksaan, lembaga penahanan anak, fasilitas koreksional dan agen-agen sosial yang mengurus penempatan anak sesuai dengan perintah pengadilan anak. Kelompok-kelompok ini tidak selalu bekerja sama dengan baik atau dengan nilai-nilai yang sama. Beban kerja mereka berbeda-beda, demikian pula sudut pandang dan kualifikasi profesional mereka. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keharmonisan kerja sama kelompok-kelompok ini. Kondisi ini juga terjadi di sistem peradilan yang menangani anak di Indonesia.    
Selain SDM, minimnya dana, dan lemahnya koordinasi antar sub sistem peradilan pidana, masalah lain yang dihadapi lapas anak adalah beban kerja lapas itu sendiri yang sangat luas. Selain menyelenggarakan pendidikan, memberikan keterampilan, juga ”menjaga” keamanan. Hal ini tentu saja memunculkan banyak persoalan teknis. Pelayanan kesehatan-pun dalam hal ini tidak maksimal. Padahal telah ada sejumlah peluang dalam bentuk kesepakatan bersama dengan lembaga pemerintah terkait, namun tidak maksimal. Pengalaman Indonesia memperlihatkan untuk mengantisipasi masalah ini sangat tergantung pada figur dari kepala lapas.
            Bila dilihat dari aspek legal framework, persoalan di lapas anak dan perempuan ini berujung pada belum adanya aturan spesifik tentang pola pembinaan khusus anak dan perempuan. Mulai dari tingkat lembaga hingga SDM muncul kebingungan tentang bagaimana pembinaan terhadap Anak Didik seharusnya dilakukan.
            Lebih jauh lagi ketiadaan metode pembinaan khusus bagi anak, membuat petugas melakukan pembinaan terhadap anak dengan “cara atau pengalaman  pribadi masing-masing“.  Antara lain dengan menempatkan diri sebagai  orang tua  dengan anak atau sebagai kakak sehingga pola pembinaan identik dengan memberikan nasehat-nasehat pada anak dan tentu saja membosankan anak. Muncie (1999) menjelaskan bahwa penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum senantiasa diwarnai dengan kebingungan, ambiguitas dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga. Inilah yang menjadi dasar mengapa perlu penanganan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diperlukan adanya kesadaran bahwa anak-anak membutuhkan respon yang tidak sama dengan respon terhadap orang dewasa yang melanggar hukum.
            Beberapa cara pandang dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dapat dijeaskan sebagai berikut (Sienna dan Siegel 2001). Berdasarkan filosofi rehabilitation negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya. Karena setiap anak dianggap memiliki kapasitas untuk belajar dan terutama belajar mengubah tingkah lakunya, maka sesuai filosofi ini, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan melalui upaya-upaya demi kepentingan terbaik anak. Anak-anak lebih dipandang sebagai korban keadaan dan lingkungan daripada sebagai pelaku. Rehabilitasi dengan demikian bertujuan untuk mendukung dan memberikan penanganan dalam lingkup individu (Snarr, 1996), dan struktur peradilan yang dijalankan pun lebih bersifat informal dan tertutup.
Sementara intervensi berbasis kesejahteraan dirancang untuk membantu anak-anak yang bermasalah dan menjamin rehabilitasi dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat umum; intervensi berbasis keadilan dirancang untuk memberikan hak yang sama kepada anak dengan hak yang diberikan kepada orang dewasa; intervensi diversi dirancang untuk mencegah anak-anak melakukan pelanggaran dan menjaga agar anak-anak tidak masuk ke dalam pengadilan atau lembaga-lembaga koreksi/custody.
Perkembangan lainnya dalam penanganan anak adalah pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan ini lebih pada upaya memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat adanya suatu pelanggaran, melalui upaya-upaya mediasi dan bentuk-bentuk community service atau kerja sosial (Walgrave, 1996). Selain juga tidak bertujuan untuk menghukum atau untuk menanamkan kembali nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kepada pelaku pelanggaran, tetapi untuk memperbaiki atau mengganti kerugian-kerugian atau penderitaan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang terjadi. Model ini sangat didukung oleh bentuk masyarakat komunitarian, yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi juga ikatan kebudayaan yang kuat. Dengan melihat karakteristik ini model yang terakhir ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia.

5. Kelompok Rentan Lainnya
            Isu perempuan dan anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dewasa ini masih belum mendapatkan perhatian khusus. Meskipun instrumen-instrumen internasional dan nasional telah mengatur dengan jelas, serta banyaknya unsur masyarakat sipil yang mendorong isu ini masuk dalam agenda kebijakan, namun keduanya belum cukup kuat untuk melakukan perubahan secara menyeluruh. Dalam kenyataannya, minimnya perhatian dalam agenda kebijakan juga terjadi pada kelompok rentan/minoritas lainnya; seperti kelompok usia tua (manula), orang cacat, serta kelompok dengan orientasi seksual berbeda. Termasuk dalam kebijakan Sistem Pemasyarakatan, baik pada tingkat aturan hingga teknis di unit pelaksana teknis. Instrumen internasional telah memberikan pedoman tentang hal ini. Terkait dengan kebijakan khusus yang semestinya diberikan kepada orang cacat dan lanjut usia didasari oleh Konvensi Internasional Hak Penyandang Cacat 2006 dan UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, serta UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Sedangkan untuk kelompok dengan orientasi seksual berbeda dapat didasari oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. 
            Hal yang ingin ditekankan oleh instrumen-instrumen ini adalah adanya perlakuan spesifik terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik kelompok rentan dan minoritas tersebut, serta melarang adanya tindakan-tindakan diskriminatif terlebih bila mengarah kepada penyiksaan. Terkait dengan hal ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyusun model pembimbingan, pelayanan dan pembinaan spesifik bagi kelompok-kelompok rentan dan minoritas ini, sebagaimana juga diperlukan terhadap anak dan perempuan. Selain itu, Sekretariat Jenderal Departemen perlu juga merencanakan dan menganggarkan aspek-aspek fasilitatif terkait dengan kebutuhan-kebutuhan spesifik anak, perempuan, dan kelompok-kelompok rentan ini.


C. Catatan Reflektif
            Perkembangan pemidanaan di Indonesia memperlihatkan sebuah proses yang terus mencari bentuk. Filosofi dan model pemidanaan masa penjajahan yang sangat bersifat pembalasan dan penciptaan rasa takut untuk tujuan eksploitasi berubah ke arah resosialisasi pada masa awal Indonesia merdeka hingga akhirnya muncul Pemasyarakatan tahun 1964. Namun perkembangan tahun 1980-an hingga kini memberikan indikasi jelas adanya kompleksitas hambatan dalam pelaksanaan Pemasyarakatan sehingga sangat mungkin dipadukan dengan wacana-wacana baru dalam pemidanaan yang lebih maju.
            Terkait dengan perkembangan filosofi dalam pemidanaan, Pemasyarakatan pada dasarnya telah sangat maju. Namun demikian, Pemasyarakatan juga perlu membuka diri terhadap perkembangan dalam filosofi penghukuman ini. Pasca filosofi Reintegrasi Sosial, berkembang pula kemudian filosofi-filosofi alternatif dalam pemidanaan, seperti Community Based Correction dan Restorative justice. Kedua filosofi ini sangat terkait erat dengan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh Pemasyarakatan itu sendiri, yaitu mengupayakan terintegrasinya kembali narapidana dengan masyarakatnya. Kedua filosofi, yang juga disebut sebagai model pemidanaan ini, sangat mungkin diprioritaskan pada kasus anak dan first Offender, atau narapidana yang dengan proses formal akan pidana kurang dari satu tahun.
            Beberapa upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah formalisasi pidana alternatif, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, perlu dilakukan upaya kesepahaman dengan sub sistem peradilan pidana lainnya agar beberapa alternatif dari pemenjaraan, yang sangat terkait dengan peran polisi, jaksa, dan hakim ini dapat diwujudkan. Dalam konteks Pemasyarakatan, yang dapat dilakukan adalah revitalisasi peran dari Bapas sebagai probation dan parole officer. Pada akhirnya, kesuksesan dari pelaksanaan alternatif dari pemenjaraan ini akan sangat ditentukan oleh dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, perlu dilakukan sosialisasi kepada publik tentang peran yang dapat dimainkannya dalam proses pemasyarakatan.
            Terkait dengan kompleksitas permasalahan Sistem Pemasyarakatan, perlu dilakukan pembaruan. Perubahan aspek makro struktural yang dibutuhkan dalam hal ini adalah perubahan struktur ke arah yang lebih terdesentralisasi, yang tidak hanya terbatas pada aspek teknis seperti yang selama ini terjadi. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam proses kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta inisiasi kerjasama dengan pihak ketiga. Upaya-upaya perubahan ini baru dapat dilakukan dengan perubahan kerangka peraturan terkait dengan organisasi dan tata laksana Departemen Hukum dan HAM, Kantor Wilayah dan Direktorat. Terkait dengan proses kebijakan, diperlukan adanya peraturan khusus tentang proses kebijakan bottom up yang berbasis pada kebutuhan narapidana per UPT.
            Dalam hal pengawasan, diperlukan penguatan pengawasan internal oleh atasan langsung, dan inspektorat pemasyarakatan. Selain itu, diperlukan pula penguatan pengawasan eksternal, khususnya oleh unsur masyarakat sipil. Untuk mewujudkannya, diperlukan konsistensi penyelesaian masalah pelanggaran administratif hingga pelanggaran pidana. Oleh karenanya diperlukan transparansi dalam proses pemeriksaan dan penindakan. Diperlukan pula laporan secara berkala kepada publik oleh inspektorat. Sementara untuk pengawasan eksternal, diperlukan aturan yang menjamin kunjungan berkala untuk pengawasan eksternal.
            Terkait dengan upaya mewujudkan sinkronisasi kerja antar sub sistem peradilan pidana, diperlukan aturan pada level Undang-Undang, sehingga benar-benar terwujud apa yang disebut dengan Integrated Criminal Justice System. Untuk jangka pendek, dapat dibuat kesepahaman antara sub-sub sistem peradilan pidana tentang sinkronisasi kerja, khususnya untuk mendukung pemasyarakatan sebagai tujuan pemidanaan. Keberadaan aturan ini sekaligus menegaskan bahwa pemasyarakatan bukanlah hanya penghujung dari peradilan pidana, namun sudah mulai berperan saat proses pra-ajudikasi. Pada tingkat teknis, masing-masing sub sistem peradilan pidana dapat mengoptimalkan kewenangan diskresi atau diversi yang dimiliki untuk mengurangi kecenderungan memenjarakan sebanyak mungkin orang. Terlebih terhadap first offender dan anak, serta terpidana perempuan yang memiliki tanggungan.
            Sementara itu, terkait dengan isu perempuan dan anak dalam sistem pemasyarakatan, saran berada dapat berada di level makro hingga mikro. Pada level makro, aspek yang berperan, pertama adalah nilai, prinsip, dan filosofi tentang pengarusutamaan gender dan kepentingan anak. Kedua, aturan-aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Termasuk dalam hal ini diperlukannya peraturan khusus tentang proses pemasyarakatan khusus anak dan perempuan. Pada level mikro, aspek yang berperan adalah diperlukannya aturan-aturan pelaksanaan tentang proses pemasyarakatan anak dan perempuan. Selain itu, pada level ini diperlukan pula intersifikasi serta diversifikasi pola dan substansi pembinaan bagi anak dan perempuan, dengan catatan harus berbasis pada kebutuhan spesifk anak dan perempuan.

1 comment: